PEKANBARU, Riaueditor.com - Kasus perambahan hutan lindung di kawasan Bukit Batabuh Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu) Provinsi Riau yang dirambah PT Mulia Agro Lestari (PT.MAL) disebut-sebut sebagai salah satu perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan turut memperparah Kawasan Hutan lindung Bukit Batabuh semakini menyusut.
Informasi yang diterima awak media ini, sekitar kurang lebih 5000 hektar dari luas total 47 ribu hektar di kawasan hutan lindung itu, kini sudah menjadi lahan perkebunan yang disulap oleh perusahaan PT MAL sejak tahun 2011 silam.
Lokasi pembukaan lahan perkebunan sawit tersebut, tepat bermula dari Desa Pauh Kecamatan Peranap Kabupaten Inhu, hingga perbatasan Kabupaten Kuantan Sengi-ngi Riau. Kini areal kawasan hutan lindung itu, sudah menjadi lahan perkebunan kelapa sawit yang dikelola PT MAL.
Pada Juli 2012 silam, Dinas Kehutanan Provinsi Riau melalui Polisi Kehutanan tengah mendapati aktivitas PT Mal yang membuka kawasan hutan lindung Bukit Batabuh untuk dijadikan kebun kelapa sawit. Kala itu, pihak Polhut Riau sendiri sempat menahan 1 dari dua unit eksavator yang kini masih diamankan di Markas Polhut Riau di Jalan Dahlia Pekanbaru.
Belakangan, kasus tersebut hingga kini tidak ada perkembangan alias mandeg. Kendati pihak Polhut Riau tengah sempat memangggil penanggungjawab perusahaan tersebut untuk dimintai keterangan. Hari, bulan, tahun hingga berganti pada tahun 2016 ini, kasus tersebut tetap mandeg di Mapolhut Riau.
"Ini yang menjadi pertanyaan kami selama ini, sudah hampir kurang lebih 5 tahun kasus tersebut belum juga ada perkebangan," kata Ir Ganda Mora Ketum Independen Pembawa Suara Korupsi, Kolusi dan Kriminal Ekonomi (IPSPk-3) RI pada Riaueditor.com, Sabtu (24/9/16) siang.
Gandamora menuding, pihak Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Polhut Riau diduga tengah membangun sebuah kerjasama terselubung dengan pihak PT MAL. Hal ini disebutkannya, lantaran perkembangan kasus tersebut hingga kini belum ada kemajuan penyidikan hingga ketingkat proses peradilan.
"Jangankan kasus tersebut sampai ke Pengadilan, kasus tersebut pun saat ini tidak dilaporkan ke bagian kordinasi PPNS Polhut dengan pihak Kepolisian dan Kejaksaan di Riau. Sehingga kasus tersebut berjalan ditempat," sebutnya.
Dia menilai, keberadaan Dinas Kehutanan bersama PPNS Polhut Riau, hanya sebagai simbol saja selama ini. Dimana banyak kawasan hutan di Riau yang sudah terusik selama ini, akan tetapi pengawasan dan pemantauan kawasan hutan di Riau justru semakin parah.
"Saya menilai bagusnya Dishut Riau ini, ditiadakan saja. Atau dirampingkan saja. Sebab anggaran pemerintah daerah yang mencapai puluhan miliar setiap tahunya tidak sia-sia dianggrakan oleh pemprov Riau," tukasnya.
Ia berharap, jika pemerintah dan instansi terkait masih peduli dengan kawasan hutan lindung di Riau, khususnya kelestarian kawasan hutan lindung Bukit Batabuh tidak diusik oleh oknum-oknum yang tidak mau bertanggunjawab atas kelestarian hutan lindung tersebut.
Pemerintah, seperti Dinas Kehutanan provinsi Riau, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLH) beserta aparat hukum seperti pihak Kepolisian dan Kejaksaan, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi agar kompak untuk melakukan pencegahan dan penindakan kelestarian hutan lindung yang ada di Riau.
Terkait hal ini, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Riau Ir Fadrizal Labay saat dikontak via ponselnya, sedang tidak dalam keadaan aktif, begitu juga pesan pendek pertanyaan yang dikirim juga belum berbalas, sehingga belum bisa dimintai penjelasannya.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Kabid Perlindungan Hutan Dishut Riau, Iwan Kadir, saat dikontak lewat ponsel Sabtu sore sedang aktif tapi tak kunjung menjawab panggilan awak media ini.
Sebelumnya, Hendrik Pakpahan selaku Direktur Utama PT Mulia Agro Lestari saat dikontak lewat ponselnya, Kamis (15/9/2016) lalu, juga sedang tidak dalam keadaan aktif. Pesan singkat yang dikirim yang masuk ke kotak pesan ponselnya belum juga berbalas hingga berita ini dimuat.
Sementara itu, Manajer PT MAL Sialoho yang juga dikontak lewat ponselnya, mengaku pihaknya tidak merasa merambah hutan di kawasan Bukit Batabuh, dengan alasan bahwa pihaknya hanya sebatas membeli lahan di kawasan tersebut kepada para masyarakat desa yang mengaku lahan tersebut milik warga Desa Pauh Kecamatan Peranap Inhu.
"Kita tidak ada merusak kawasan hutan lindung Bukit Batabuh itu pak, kita hanya membeli dari masyarakat desa dengan melakukan jual beli saja. itupun kita beli secara bertahap, dan tidak sekaligus kita beli semuanya," ungkapnya.
Ditanya, dari siapa saja lahan tersebut dibeli oleh PT PAL? Sialoho tidak bersedia menjawab, dengan alasan bahwa pihaknya tengah mengantongi surat jual beli yang ditandatangani oleh pemilik lahan dan diketahui oleh aparat desa setempat.
"Untuk apa kalian tahu soal jual beli lahan itu, yang pentingkan lahan itu kami beli dari warga desa dan diketahui oleh aparat desa. Dan apakah ada warga yang merasa keberatan lahan tersebut jika kami beli," ujarnya mengelak tanpa bersedia menyebutkan dari siapa saja lahan yang dibeli pihaknya.
Kendati demikian, lantas media ini menanyakan apakah pihak perusahaan PT MAL mengetahui membeli lahan yang kawasan tersebut merupakan diatas lahan kawasan hutan lindung Bukit Batabuh? Sialoho mengaku tidak mengetahui hal tersebut, dengan alasan bahwa lahan tersebut menurutnya adalah lawan warga yang dibeli pihaknya dan tidak mau tahu bahwa lahan itu merupakan lahan kawasan hutan lindung.
Dia juga menyebutkan, jika saja ada upaya pemerintah atau aparat hukum di Riau yang akan melakukan penindakan dikawasan hutan lindung yang saat ini sudah beruvah fungsi menjadi kebun. Pihaknya mengaku tidak gentar dengan ancaman tersebut. Dengan dalil bahwa pihaknya hanya sebatas pemebelia lahan dari warga desa setempat dan siap menunjukkan bukti-bukti jual beli lahan yang dimaksud.
Sebagaiman diberitakan, Kasus perambahan hutan lindung di Riau, saat ini memang tidak bisa lagi dibendung oleh pemerintah daerah maupun pusat selama ini. Hal ini tidak terlepas lemahnya pengawasan yang dilakukan instansi terkait. Mulai dari Dinas Kehutanan, BKSDA, Kementrian LHK, dan aparat hukum yang menegakkan hukum di Indonesia.
Tidak sedikit hutan lindung dan kawasan hutan di Riau, yang kini berubah fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit, karet dan lainnya. Sebagai contoh, Kawasan Hutan Marga Satwa Kerumutan, Taman Nasional Teso Nilo Kabupaten Pelalawan, Taman Nasional Bukit Tiga Puluh, dan Kawasan Hutan Lindung Bukit Batabuh di Kabupaten Indragir Hulu Riau.
Secara administratif, Bukit Batabuh terletak di Provinsi Jambi dan Riau. Kawasan itu ditetapkan pemerintah sebagai hutan lindung, karena kawasan ini merupakan koridor yang menghubungkan Taman Nasional Bukit Tigapuluh dan Suaka Margasatwa Rimbang Baling. Kawasan itu menopang kelangsungan hidup berupa sumber makanan dan reproduksi bagi harimau Sumatra (panthera tigris sumatrea).
Hutan Lindung Bukit Batabuh, semula berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 73 Tahun 1984, memiliki luas 82.300 hektare. Namun, kini tutupan hutan yang tersisa tinggal 25.000 hektare. Sedangkan, sekitar 57.300 hektare telah rusak akibat perambahan hingga beralih fungsi menjadi kebun kelapa sawit dan perumahan.
Letaknya secara geografis berada di wilayah Kabupaten Kuantan Sengingi dan Kabupaten Indragiri Hulu, dengan habitat asli Harimau Sumatera (Panthera Tigris Sumatrae). Kawasan Hutan Lindung Batabuh merupakan koridor yangmenghubungkan Taman Nasional Bukit Tigapuluh dan Suaka Margasatwa RimbangBaling.
Kawasan Hutan Lindung Bukit Batabuh menopang kelangsungan hidupberupa sumber makanan dan reproduksi bagi harimau sumatera. Jumlah luasan kawasan konservasi 3 (tiga) kawasan hutan mencapai 322 ribu hektar. Taman Nasional Bukit Tigapuluh seluas 144 ribu hektar, Suaka Rimbang Baling seluas 136 ribu hektar dan Hutan Lindung Bukit Batabuh seluas 47 ribu hektar.
Hutan Lindung Bukit Batabuh berjarak 4 Km dengan kawasan pemukiman masyarakat. Kawasan Bukit Batabuh dikategorikan sebagai Kawasan Lindung dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) Riau sejak tahun 1994 lalu. Kawasan ini juga dikategorikan sebagai kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) tahun 1986.
Akibat perambahan lahan, Hutan Lindung yang ada di Wilayah Provinsi Riau berkurang tinggal 25 persen atau sekitar 75 ribu hektar dari total luas kawasan hutan lindung yang sebelumnya mencapai 300 ribu hektar.
Kawasan Hutan Taman Nasional Teso Nilo, dari seratus ribu hektar tersisa sekitar 20 ribu hektar, sementara hutan lindung di Bukit Siligi bahkan sudah hampir habis, termasuk Tahura Sultan Syarif Hasyim serta hutan lindung marga satwa juga luasannya juga sudah menyusut.***