BERBAGAI penyimpangan yang paling menghancurkan kehidupan bernegara di waktu ini ialah korupsi, yang pada umumnya dilakukan oleh mereka yang melaksanakan tata cara adat dalam politik yang ditumbuhkan oleh bermacam-macam variasi yang diakhirnya mengakibatkan kewajiban paling istimewa dipihak pemegang kekuasaan.
Di Indonesia berbagai norma yang membatasi korupsi telah terintegritas dengan budaya yang sulit memilih batas kekuasaan berasal pada peruntukan kebijakan publik, sistem hukum yang melemah menghasilkan pertukaran yang menyerupai korupsi lebih terjadi di kota-kota yang tidak memerlukan mediator yang berpengaruh supaya tidak menerima mamfaat dari program perundang-undangan serta pemerintah.
Ketika korupsi sudah menjadi sikap budaya, seharusnya perlu cicarai solusi yang lebih menyeluruh dengan banyak sekali pendekatan. Memberantas korupsi perlu juga berasal dari sosial kultural, karena akar persoalannya memang lebih bersifat kultural.
Kultural ini yang memberikan peluang birokrasi weber sangat lemah pada pengendalian melalui penerapan sistem birokrasi dalam bentuk penyimpangan etika birokrasi serta lemahnya pengendalian telah menjadikan korupsi itu sendiri dalam kenyataan bisa mengambil bentuk yang bermacam-macam, dari penyelewengan penyelewengan jabatan secara halus dan tidak terasa oleh masyarakat luas sehingga pola-pola korupsi yang kasar dan sungguh tidak manusiawi.
Pengaruh atau akibat dari korupsi pun tidak sama untuk setiap jenjang administrasi pemerintahan maupun untuk setiap negara. Akan tetapi, jika ditinjau dari sudut etika etis tidaknya sama yaitu penyalahgunaan kepercayaan dari orang banyak, dalam hal ini masyarakat atau para warga Negara.
Maju mundurnya suatu bangsa ditentukan sang perilaku birokrasi yang menjadi motor penggerak primer dalam pencapaian visi misi suatu negara. Aristotle menyatakan bahwa sikap birokrasi mencerminkan model bagaimana seharusnya public berpikir dan bertindak mirip dicontohkan oleh mereka yang berada di lingkungan pemerintahan.
Dengan demikian, para aparatur negara serta birokrasi berperan sebagau pengajar. Tuntutan kondisi Ketika ini justru menunjukkan empiris yang memprihatikan. Etika serta integritas aparatur, termasuk birokrasi tengah menjadi sorotan publik. Sikap birokrasi yang higienis, berwibawa dan beretika yang menjadi dambaan seluruh pihak dipengaruhhi oleh poli faktor, termasuk komitmen, kompetensi, dan konsistensi seluruh kalangan buat berpatisipasi dalam penyelenggaraan dan pengawasan pengelolaan negara, yang meliputi unsur aparatur negara, global usaha, dan juga rakyat. Bahkan guna mewujudkan tata pengelolaan pemerintahan yang bernegara.
Etika didefiniskan menjadi pemahaman wacana hal yang baik serta jelek atau hak dan kewajiban tentang moral dan akhlak. Intergritas merupakan mutu, sifat atau keadaan yang meberikan kesatuan yang utuh sebagai akibatnya mempunyai potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan serta kejujuran jika keduanya digabung dan ditempatkan pada sanubari, maka dapat mencetak sikap setiap individu buat selalu beretika baik dan beritegritas tinggi baik dalam dan luar lingkungan organisasi.
Karena itu, etika birokrasi serta penguatan sistem pengendalian sumber daya manusia dalam mencegah korupsi modalnya wajib berani merumuskan integrasi keduanya pada sebuah nilai etika berorganisasi. Nilai etika harus dituangkan ke dalam bermacam-macam hukum atau perilaku yang dipedomani semua pegawai birokrasi.
Nilai etika bukan sekedar berguna buat membentuk atau memotivasi serta mendorong perilaku pegawai sehari-hari, namun juga membimbing mereka saat melakukan proses pengambilan keputusan. Sehingga jika nilai etika dapat ditegakkan secara konsisten serta konsekuen maka fondasi good governance pada sebuah organisasi akan semakin berdiri kokoh.
Korupsi ialah suatu penyakit berbahaya yang menyerang seluruh struktur pemerintahan dan kenegaraan yang mencakup struktur budaya, politik, serta ekonomi masyarakat, dan merusak fungsi-fungsi negara.
Dalam kata transparansi internasional, “korupsi adalah satu tantangan terbesar dunia di zaman kini hak ini merusak pemerintahan yang baik, secara mendasar menyimpangnya transparansi internasional, hal ini menghambat pertumbuhan ekonomi negara secara fundamental.
Oxford English Dictionary mendefiniskan korupsi sebagai berikut:
1. Tindakan illegal: Korupsi mengungkapkan bahwa khususnya orang dalam otoritas menunjukkan perilaku tidak jujur atau illegal.
2. Tindakan yang Tidak Patut. Korupsi merupakan tindakan atau akibat yang membuat seseorang berubah dari standar perilaku bermoral menjadi amoral.
3. Merusak Sesuatu. Korupsi mengungkapkan perubahan atau dirubah secara progresif kepada keburukan.
Demokratisasi telah mengubah birokrasi tidak lagi sebagai institusi tunduk pada kekuasaan politik otoritarian, atau otoritarian-patrimonialisme dalam konteks Orde Baru. Melainkan, kini lebih tunduk pada kekuasaan partai politik, atau lebih tepatnya oligarkhi partai dalam konteks patrimonialisme demokrasi yang masih berkembang sekarang.
Birokrasi dibentuk sebenarnya untuk pelayanan publik berlandaskan pada prinsip rasional, objektif, dan profesional dalam pelayanan publik terlepas dari kekuasaan politik.
Korupsi berkembang karena kuatnya demokrasi patrimonial ini yang menyamakan kekuasaan politik dengan kelembagaan birokrasi dan lebih berorientasi pada pelayanan kepada penguasa atasan daripada kepentingan publik.
Reformasi birokrasi harus dilakukan untuk mengikis korupsi bersifat kultural politik ini. Oleh karena itu, kerja birokrasi haruslah menjadi bagian dari berkerjanya sistem demokrasi berpijak pada keterwakilan kepentingan publik dan supermasi hukum dan kesetaraan hak setiap warga negara mendapat pelayanan birokrasi yang baik.
Saat ini, Indonesia menduduki tingkat korupsi tertinggi di dunia. Tingkat korupsi ini, dibuktikan dari hasil yang dilakukan Transparency International (TI). Indonesia menempati angka 2,8 dengan rangking 110 dari 178 negara pada tahun 2010 dan angka 2,8 dengan rangking 110 dari 180 negara terkorup pada tahun 2011.
Sedangkan Political and Economic Risk Consultantcy Ltd (PERC), menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup di Asia yang berada di bawah Vietnam dan Filipina. Dengan tingkat korupsi 8,32 pada tahun 2010 dan 9,10 pada tahun 2011.
Dalam dua dekade terakhir, dunia mulai memandang korupsi sebagai isu penting. Berbagai insiatif untuk mencegah korupsi dilakukan mulai dari tingkat nasional, regional hingga level internasional. Korupsi dipandang bukan hanya sebagai permasalahan moral dan penyimpangan etika belaka tetapi sebagai permasalahan multidimensional yang merupakan masalah politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Korupsi di Indonesia benar-benar sangat sistemik, bahkan korupsi yang terjadi sudah berubah menjadi vampir state karena hampir semua infra dan supra struktur politik dan sistem ketatanegaraan sudah terkena penyakit korupsi.
Agenda pemberantasan korupsi sampai detik ini hanyalah dijadikan komoditas politik bagi elit politik, lebih banyak pada penghancuran karakter (character assasination) bagi elit yang terindikasikan korupsi dibanding pada proses hukum yang fair dan adil. Law enforcement bagi koruptor juga menjadi angin lalu, padahal tindakan korupsi yang dilakukan koruptor sangatlah merugikan rakyat.
Baswir (1993) menjelaskan pola korupsi yang sering dilakukan oleh oknum-oknum pelaku tindak korupsi baik daari kalangan pemerintah maupun swasta. Pola tersebut meliputi: pola konvensional, pola upeti, pola komisi, pola menjegal order, pola perusahaan rekanan, pola kuitansi fiktif dan pola penyalahgunaan wewenang.
Untuk menanggulangi terjadinya korupsi yang bermacam-macam jenisnya ini diperlukan strategi khusus dari semua bidang, meskipun untuk menghilangkan sama sekali praktik korupsi adalah sesuatu yang mustahil, tertapi setidaknya-tidaknya ada upaya untuk menekan terjadinya tindak korupsi.
Strategi yang dibentuk hendaknya melibatkan seluruh lapisaan masyarakat dan pejabat struktur pemerintahan dengan memperbaiki sumber daya manusia bermartabat dan bermoral sesuai etika dan ideologi bangsa.
Penegakkan hukum dan norma dalam membangun integritas birokrasi memerlukan waktu dan kesungguhan yang dimulai dengan penerapan integritas secara individual dari para birokrat yang kemudian akan menjadi sebuah kebiasaan/perilaku berintegritas dan pada akhirnya akan menjadikan integritas sebagai a way life.
Apabila seorang pemimpin birokrasi telah dapat menjadikan integritas sebagai a way life maka ia menjadi teladan bagi orang-orang yang dipimpinnya. Dan dalam konteks mencegah korupsi, tindakan tersebut sangat diperlukan oleh para pemimpin birokrasi agar dapat menjaga instansi dan orang-orang yang dipimpinnya terhindar dari praktek korupsi yang merugikan negara dan masyarakat.
Kurangnya internalisasi etika dan moral justru membuka peluang besar terjadinya deviasi moral akibat hilangnya integritas pribadi para birokrat. Ketiadaan integritas pribadi membuat para birokrat begitu mudah melanggar janji jabatannya serta kewajiban-kewajiban dasarnya, dan mengingkari kejujuran dalam pekerjaannya.
Kekosongan integritas ini justru membuat mereka kehilangan orientasi makna. Mereka tidak mampu menghubungkan visi dengan praktik hidupnya serta tidak mampu lagi membaca tanda-tanda zaman. Akibatnya, mereka tidak bisa menyingkap segisegi yang bermakna dari suatu kasus untuk bisa mengambil keputusan dengan tepat.
Beberapa tindakan pencegahan korupsi yang perlu mendapat perhatian serius adalah pembentukan integritas bangsa, penerapan good governance dan pelaksanaan reformasi birokrasi. Dari ketiga dimensi tersebut, yang paling krusial dilaksanakan adalah pembentukan integritas bangsa karena sifatnya lebih kepada intangible action dibandingkan dengan penerapan good governance dan reformasi birokrasi.
Selanjutnya, Melakukan pembenahan terhadap struktur pemerintah negara dan struktur insentive birokrasi berupa rewards (besaran dalam struktur gaji pegawai) yang tidak jauh dengan besaran gaji perusahaan hingga bisa menjamin kehidupan yang layak bagi pegawai birokrasi, disamping itu juga harus diikuti juga dengan sistem penalti (punishment) bagi yang tidak disiplin serta kinerjanya buruk.(*)