JAKARTA - Pilpres mendatang diperkirakan masih akan penuh kampanye dengan kebencian. Demikian disampaikan Prof. Didik J. Rachbini dalam Diskusi Online Forum Ekonomi Politik yang mengambil tema "Misteri dan Serba Serbi Capres Dini" yang diselenggarakan secara virtual oleh Universitas Paramadina, Kamis (1/9/2021).
Menurut Didik, etika politik di Indonesia tidak diperhatikan, dengan penggunaan buzzer politik yang jahat sekali men-downgrade lawan politik.
"Contoh kasus efektivitas buzzer adalah kasus KPK dengan memunculkan isu Taliban dan non Taliban di KPK ketika undang-undang KPK hendak diamandemen. Isu ini berhasil, rakyat dan mahasiswa gagal mempertahankan KPK dalam wujud yang asli," katanya.
Ia juga menyinggung fenomena pencapresan presiden di Indonesia sudah mulai terjadi secara terselubung dengan pemasangan baliho-baliho tokoh dan rencana sistematis di media sosial.
"Sudah ada tokoh-tokoh yang popularitasnya tinggi sehingga upaya bersaing dalam pencapresan ini memang harus melihat peluang keberhasilan dari survei popularitas politik," tuturnya.
Menurut Rektor Universitas Paramadina ini dari banyak lembaga survei beberapa saja yang kredibel dan sisanya melakukan akrobat. "Lembaga survei yang independen biasanya akan menghasilkan tradisi akademik yang baik," jelasnya.
Ia juga menyatakan bahwa hasil survei harus memperhatikan waktu karena setelah 8 bulan hasil survei bisa dinyatakan tidak valid.
"Berbeda dengan dulu Jokowi dan Prabowo yang sejak awal di 2013 telah mempunyai tingkat popularitas yang konsisten tinggi, bahkan Prabowo sebelum Jokowi muncul punya popularitas yang sangat tinggi," katanya.
Lanjutnya yang masih perlu diperhatikan dan diedukasi terhadap peta like and dislike figur politik hendaknya tidak seperti pilpres 2019 yang menjadikan masyarakat terbelah.
"Figur yang populer mendekati waktu pilpres sebenarnya akan terlihat sehingga yang tidak perlu ngotot untuk menang dan para pesaing tidak boleh melakukan kampanye negatif sehingga pilpres menjadi ajang permusuhan anak bangsa." ujarnya.
Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI), Djayadi Hanan Ph.D mengungkapkan bahwa dalam dua setengah tahun menjelang 2024 ada 3 lapis pengelompokan para calon presiden mendatang dari berbagai survei.
"Terdapat figur papan atas publik seperti Prabowo, Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo yang berbeda tipis dalam popularitas, terang Djayadi.
Djayadi juga menyatakan jika survei nasional menggunakan sampel 1200 dalam margin error kisaran 2,9 persen maka perbedaan antara para calon tersebut berada dalam rentang 2 kali margin of error, atau tidak terlalu signifikan perbedaannya.
"Jadi ketiga orang itu memang front runner saat ini," katanya.
Djayadi yang juga Dosen senior Ilmu Politik di Universitas Paramadina ini memberikan catatan bahwa dari ketiga orang itu juga tidak ada nama yang dominan. Angka mereka berada pada kisaran 20 an persen jika diadu dengan banyak nama.
"Jika pada 2024 nanti ada 3 pasang calon yang paling mungkin misalnya, maka ketiga orang tersebut akan disebut mencapai angka dominan jika telah mencapai angka popularitas 30-35 persen diantara 10-15 nama. Tetapi saat ini angka mereka baru kisaran 20-25 persen saja," katanya.
Ia membandingkan dengan pilpres sebelumnya Prabowo dan Jokowi memang menjadi calon-calon yang dominan ketimbang calon yang lain. Artinya, pilpres 2024 mendatang masih membuka peluang bagi siapapun untuk leading. Karena saat ini belum ada yang dominan.
Kemudian ada papan tengah (10 besar) terdapat nama AHY, Sandiuno, dan seterusnya. Terdapat juga nama-nama yang berada di luar 10 besar terpopuler seperti Puan Maharani, Cak Imin, dan Airlangga Hartarto yang menariknya adalah para figur partai politik.
Djayadi juga mengungkapkan alasan mengapa para calon di luar 10 besar memilih stragegi memasang baliho, iklan di TV, sosmed untuk meningkatkan popularitas.
"Akan sangat sulit peluang yang diperoleh jika popularitas masih di bawah 70 persen," imbuhnya.
Mengapa yang dipilih ada baliho dan televisi ketimbang medsos?
Karena tingkat kepedulian publik pada medsos di Indonesia masih di bawah 60 persen dibanding TV yang berdasar survei penduduk masih 80 persen selalu ditonton oleh warga masyarakat," kata Djayadi.
Direktur LP3ES, Fajar Nursahid mengungkapkan bahwa variabel downgrade lawan politik harus menjadi perhatian serius oleh para politikus.
"Hal itu nampak betul karena ada juga capres-capres yang sangat popular tetapi favorability-nya rendah sekali. Itu misalnya terjadi pada figure Anies Baswedan walaupun masih di 3 besar papan atas terpopuler," katanya.
Fajar memandang bahwa jalan menuju pencapresan itu tidaklah semulus seperti yang diperkirakan. Belum lagi bagaimana peran-peran cybertroops kemudian bisa mendegradasi lawan politik.
Ia juga mengungkap fenomena para figur politik yang jauh dari partai politik pengusungnya. Mengambil contoh dahulu figure Jokowi dan SBY jauh melampaui popularitas partai pengusungnya.
"Saat ini figur yang diharapkan menjadi centrum pengaruh dari partai politik untuk meraih voters ternyata belum cukup kuat untuk mengangkat popularitas pencalonan dirinya," katanya.
Fajar mencontohkan kasus pada Puan Maharani yang membuat strategi baliho masif untuk mendongkrak daya pikat bagi voters, sementara dalam realitasnya Ganjar Pranowo yang ternyata bersanding di figure terpopuler papan atas bersama Anies Baswedan.
"Hal itu menjadi menarik untuk dikaji mengapa orang-orang yang punya kendali kuat di partai politik ternyata tidak cukup punya favorability ketimbang mereka yang di luar centrum partai politik seperti Anies Baswedan, dan Ganjar Pranowo," tandasnya.(*)