Saling Tuding Dana Rp 1,5 Triliun Saksi Parpol

Redaksi Redaksi
Saling Tuding Dana Rp 1,5 Triliun Saksi Parpol
nevosnews.com
ilustrasi
JAKARTA – Dana buat para saksi asal parpol di Pemilu 2014 mencapai Rp 1,5 triliun. Pemerintah, Bawaslu dan KPU mengelak mereka pengusul duit tersebut. Para politisi justru mengritik. Siapa berkepentingan?

Soal dana yang besar ini, pemerintah menjelaskan melalui Kementerian Keuangan. "Supaya pemilunya lebih adil, lebih fair. Karena kita merasa, kalau tidak ada saksi yang mewakili partai, kita (pemerintah) nanti dicurigai. Selain itu, parpol banyak yang tak punya uang untuk membiayai mereka dalam mengawasi pemungutan suara," ujar Bambang Brodjonegoro, Wakil Menteri Keuangan, pada Jumat (24/1/2014).

Anggaran yang disediakan pemerintah, total Rp 1,5 triliun dengan alokasi Rp 800 miliar untuk Mitra Pengawas Pemilu Lapangan (PPL) Bawaslu dan Rp 700 miliar saksi dari parpol. Angka Rp 700 miliar didapat dari satu orang saksi parpol dibayar Rp 100 ribu, dikalikan jumlah TPS 545.778, dikalikan 12 parpol. Maka total anggaran yang harus dicairkan pemerintah sebesar Rp 654.933.600.000. (Rp 654 miliar). Atau digenapkan menjadi Rp 700 miliar.

Dalam realisasinya nanti, dana Rp 654 miliar buat saksi parpol di 545.778 TPS itu, pencairannya dilakukan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) langsung ke saksi di TPS.

Gamawan Fauzi, Menteri Dalam Negeri justru menuding Bawaslu sebagai penggagas. Usulan honor buat saksi parpol, muncul dari Bawaslu yang menampung usulan dari partai politik. "Itu Bawaslu dulu yang usul, pada waktu pembahasan muncul ide untuk saksi parpol. Dalam hal ini, pemerintah akan mempertimbangkan kalau ini sudah matang antara parpol dan Bawaslu," kata Gamawan di Jakarta, pada Senin kemarin.

Bagaimana dengan Bawaslu? Muhammad, Ketua Bawaslu, membantah jika permintaan dana saksi parpol muncul dari Bawaslu. Menurutnya, anggaran honor saksi parpol merupakan inisiatif pemerintah. Belakangan, memang Bawaslu dipertimbangkan sebagai pihak yang paling tepat untuk mengelola anggaran tersebut.

"Ketika rapat koordinasi, pemerintah menyampaikan ada keluhan dari peserta pemilu terkait pentingnya menghadirkan saksi di setiap TPS (tempat pemungutan suara). Sekali lagi, ini bukan dari Bawaslu (tapi), ini aspirasi parpol kepada pemerintah," kata Muhammad, di Jakarta, pada Selasa (28/1/2014) tadi.

Muhammad bahkan menyebut Menko Polhukam juga sempat menyebut soal parpol yang meminta ke pemerintah. "Pak Menko Polhukam menjelaskan, ada permintaan parpol ke pemerintah. Tapi beliau tidak menjelaskan partai mana saja," tambahnya.

Lalu bagaimana dengan KPU? Menurut Ferry Kurnia Rizkiyansyah, Komisioner KPU, sejak awal pihaknya berkonsentrasi mengupayakan penyelenggaraan pemilu berkualitas. Karena itu, KPU mewajibkan parpol mengirimkan saksinya di TPS. Tetapi KPU tidak pernah mengusulkan atau berupaya agar saksi dari parpol dibiayai negara. "KPU tidak pernah usulkan dan tidak pernah ada upaya meng-cover dana saksi partai. Kalau urusan anggaran itu konsentrasi Bawaslu," katanya, pada Senin kemarin.

Oleh sebab itulah, KPU enggan terlibat mendistribusikan dana saksi parpol. "Tidak mau. (Mengelola) Ini (anggaran KPU) saja sudah susah. Bagaimana mau ditambah lagi," ujarnya.

Lalu bagaimana dengan DPR yang mengetok palu persetujuan? "Bawaslu awalnya sempat keberatan mengelola dana itu. Untungnya, belakangan Komisi II berhasil meyakinkan lembaga itu untuk mau bekerja dengan baik sesuai tujuan awalnya. Yang jelas ini bukan buat parpol. Ini uang tidak langsung diberikan ke parpol. Setelah kami jelaskan, akhirnya Bawaslu memahami," kata Agun Gunandjar Sudarsa, Ketua Komisi II, di Jakarta, pada Senin kemarin.

Menurut Agun, hal yang pertama harus dipahami, dana saksi itu dasar hukumnya UU 8/2012 tentang pemilu legislatif, yang dalam penyelenggaraan pemilu di TPS memang ada saksi. Dengan adanya saksi dari partai politik peserta pemilu di TPS, maka asas langsung, umum, bebas, rahasia (luber) dan jujur dan adil (jurdil) bisa terpenuhi. Kedua, proses penghitungan dan pemungutan suara pemilu dijamin lebih jurdil karena semua saksinya ada. Apalagi berdasarkan pengalaman, TPS amatlah rawan penyelewengan.

Menurut Agun, kesepakatan itu diambil secara bersama oleh pemerintah, DPR dan KPU-Bawaslu. Tujuannya agar proses di TPS berlangsung jujur dan adil karena semua parpol menghadirkan saksi.

Nah, jika pemerintah dan Bawaslu mengatakan bahwa idenya dari parpol, ternyata beberapa parpol justru mengritik soal dana buat saksi tersebut.  Sebut saja Leo Nababan, Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar mengatakan, sebenarnya tak perlu saksi parpol mendapat pendanaan dari negara. "Enggak perlu pakai saksi. Kalau saya lebih baik KPU dan Bawaslu membuat peraturan agar sisa surat suara yang tidak terpakai di tiap TPS digunting atau dihanguskan. Golkar kasih solusi tanpa uang," ungkap Leo di Media Center KPU, Jakarta, pada Jumat (24/1/2014).

Partai Nasdem juga menolak bila saksi dibiayai negara, karena seharusnya beban para saksi harus ditanggung oleh masing-masing parpol. Hal ini untuk mengurangi kecurangan akibat independensi para saksi parpol bisa goyah jika dibiayai negara. "Saksi parpol adalah alat partai. Kenapa harus dibiayai atau ditanggung oleh Negara? Partai sesungguhnya memiliki kewajiban untuk memperkuat saksi mereka sendiri di TPS," kata Surya Paloh, Ketua Umum DPP Partai Nasdem.

PDI Perjuangan juga tegas menolak. "PDI Perjuangan berketapan untuk menolak dana saksi yang akan dibiayai negara," kata Hasto Kritianto, Wasekjen PDI Perjuangan, pada Senin kemarin.

Hal sama dikatakan Didi Supriyanto, Ketua DPP PAN. "Uang yang harus dibayar kepada saksi parpol adalah uang rakyat. Bisa dimanfaatkan untuk lainnya. Seharusnya uang itu bisa digunakan untuk penguatan penyelenggaraan pemilu," ujar Didi.

Menurut Ramlan Surbakti, peneliti pemilu, adanya anggaran buat saksi pemilu menunjukkan lemahnya fungsi kaderisasi yang dilakukan parpol. Bukan karena parpol tidak memiliki dana, melainkan orientasi politik partai tidak terarah. "Kalau ada 560 ribu tempat pemungutan suara (TPS) dan setiap parpol melakukan kaderisasi terhadap 560 ribu anggotanya, tentu itu akan efektif. Mestinya kaderisasi itu jalan. Ini malah minta uang negara," kata Prof Ramlan yang juga mantan anggota KPU itu.

Sementara itu, Roy Rangkuti, Direktur Lingkar Madani menilai, dana saksi parpol telah menyimpang dari konstitusi. Bawaslu dan parpol sama-sama memiliki kepentingan untuk mendapatkan dana taktis. "Ini melanggar hukum. Anggaran ini tidak ada di pos APBN," kata Ray.

Wah, kalau memang melanggar hukum, ada baiknya jika dana ini dbatalkan saja. Bukankah berbagai parpol juga merasa tak membutuhkan dana tersebut? Daripada rawan diselewengkan para oknum demi kepentingan pribadi, mending disimpan buat kepentingan lainnya yang mendesak buat rakyat.

(lenny handayani/kukuh bhimo nugroho/nevosnews.com)

Tag:
Berita Terkait
Segala tindak tanduk yang mengatasnamakan wartawan/jurnalis tanpa menunjukkan tanda pengenal/Kartu Pers riaueditor.com tidak menjadi tanggungjawab Media Online riaueditor.com Hubungi kami: riaueditor@gmail.com
Komentar
Berita Terkini