Oleh : Oleh Leonard Tiopan Panjaitan, MT, CGPS, CPS
BENCANA hidrometeorologi yang melanda Sumatera pada akhir November 2025, bukanlah peristiwa yang datang tiba-tiba. Hampir seribu nyawa melayang, ratusan ribu warga mengungsi, dan kerugian ekonomi menembus puluhan triliun rupiah.
Di balik angka-angka tragis itu, terdapat akar masalah yang jauh lebih dalam dan struktural: menyusutnya tutupan hutan Sumatera serta kegagalan tata kelola lintas sektor.
Peta tutupan lahan yang dipublikasikan Harian Kompas pada 12 Desember 2025 dengan judul “Hutan Sumatera Lenyap”, memberikan gambaran visual yang sangat gamblang. Dalam kurun dua dekade, hutan alam di Sumatera terfragmentasi secara masif.
Area hijau tua yang dahulu menyelimuti sebagian besar pulau kini berubah menjadi mosaik perkebunan kelapa sawit, hutan tanaman industri, pertambangan, dan permukiman. Kompas mencatat Sumatera kehilangan ratusan ribu hektare hutan setiap tahun, terutama di Aceh, Sumatera Utara, Riau, dan Sumatera Selatan.
Peta tersebut juga menunjukkan korelasi spasial yang kuat antara wilayah dengan kehilangan tutupan hutan tinggi dan lokasi banjir serta longsor besar pada November-Desember 2025.
Fakta ini mempertegas satu hal, bencana di Sumatera bukan semata akibat hujan ekstrem, melainkan hasil akumulasi keputusan pembangunan yang mengabaikan daya dukung ekologis. Hutan, yang seharusnya berfungsi sebagai pengendali tata air, penyangga tanah, dan pelindung masyarakat hilir, telah direduksi menjadi komoditas ekonomi jangka pendek.
Sayangnya, respons kebijakan kita masih didominasi pola tata kelola reaktif. Pemerintah bergerak cepat setelah bencana terjadi, mengerahkan logistik, membuka akses jalan darurat, serta memperbaiki jaringan listrik, namun terlalu sering gagal menyentuh akar persoalan.
Penertiban aktivitas industri di daerah aliran sungai (DAS) kritis kerap baru dilakukan setelah korban berjatuhan. Padahal, peta-peta seperti yang disajikan Kompas telah lama tersedia dan seharusnya menjadi dasar perencanaan tata ruang serta pengawasan perizinan.
Di sisi lain, Indonesia sesungguhnya telah memiliki ambisi besar menuju pembangunan berkelanjutan. RPJPN 2025–2045, RPJMN 2025–2029, serta berbagai peta jalan ekonomi hijau dan keuangan berkelanjutan menempatkan isu lingkungan sebagai prioritas nasional. Namun, realitas di lapangan menunjukkan adanya jurang lebar antara dokumen kebijakan dan implementasi.
Pendanaan publik untuk aksi iklim masih terbatas, sementara sektor swasta kerap berjalan dengan logika bisnis seperti biasa. Akibatnya, hutan terus terdegradasi, sementara risiko bencana meningkat dari tahun ke tahun.
Bencana Sumatera 2025 juga membuka dimensi lain yang kerap luput dari perhatian, yakni dampak terhadap produktivitas dan modal manusia. Ketika wilayah terdampak masih berjuang memulihkan infrastruktur dasar, dunia kerja Indonesia secara umum menghadapi tekanan besar akibat transformasi digital yang cepat.
Penelitian menunjukkan bahwa transformasi digital memunculkan fenomena yang disebut technostress-stres psikologis akibat beban teknologi, konektivitas yang terus-menerus, dan tuntutan adaptasi digital yang berpotensi menurunkan kesejahteraan, kepuasan kerja, dan kinerja pekerja.
Studi di berbagai sektor, termasuk di Indonesia, telah mengaitkan tekanan teknologi dengan burnout dan penurunan produktivitas di tempat kerja. Dalam konteks pascabencana, tekanan mental ini dapat berlipat ganda: pekerja harus tetap produktif di tengah trauma, ketidakpastian ekonomi, serta lingkungan kerja yang belum pulih sepenuhnya.
Jika keberlanjutan hanya dimaknai sebagai pengurangan emisi atau kepatuhan laporan ESG, maka kita kehilangan esensinya. Keberlanjutan sejati harus mencakup keberlanjutan manusia dan ekosistem secara bersamaan. Hutan yang hilang bukan hanya soal karbon, melainkan soal keselamatan warga, stabilitas ekonomi daerah, dan kesehatan mental masyarakat yang hidup di dalamnya.
Disinilah pentingnya kolaborasi lintas sektor yang nyata, bukan sekadar jargon. Model Pentahelix pemerintah, swasta, akademisi, komunitas, dan media sering disebut sebagai solusi, namun praktiknya masih terjebak ego sektoral. Peta Kompas seharusnya menjadi alat bersama: pemerintah menggunakannya untuk meninjau ulang tata ruang dan izin, sektor keuangan menjadikannya dasar penilaian risiko kredit dan investasi, dunia usaha mengoreksi rantai pasoknya, akademisi memperdalam analisis ilmiah, dan media memastikan akuntabilitas publik.
Contoh keberhasilan sebenarnya ada. Restorasi mangrove berbasis komunitas di beberapa wilayah Sumatera menunjukkan bahwa ketika kepentingan ekonomi lokal diselaraskan dengan pemulihan ekosistem, risiko bencana dapat ditekan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Model seperti ini perlu direplikasi, bukan justru kalah oleh ekspansi lahan yang merusak.
Namun, kolaborasi yang efektif membutuhkan aktor-aktor yang kompeten. Salah satu kelemahan besar kita adalah belum terprofesionalisasinya sektor keberlanjutan. Banyak posisi “manajer keberlanjutan” atau “analis ESG” diisi tanpa standar kompetensi yang jelas. Padahal, ke depan, pengelolaan risiko iklim, tata ruang berbasis data, dan penilaian dampak lingkungan membutuhkan keahlian teknis yang teruji.
Penguatan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) dan sertifikasi profesi menjadi keniscayaan agar keberlanjutan tidak berhenti sebagai slogan.
IS2P sebagai Katalisator
Sebagai organisasi profesi, Indonesian Society of Sustainability Professionals (IS2P) memiliki peran strategis untuk menjembatani kesenjangan ini. IS2P perlu melampaui fungsi jejaring dan diskusi menuju peran sebagai penggerak ekosistem: mendorong advokasi kebijakan berbasis data, membantu pemerintah daerah membaca risiko spasial seperti yang ditunjukkan peta Kompas, serta menyiapkan tenaga profesional yang mampu bekerja lintas disiplin, termasuk lingkungan, ekonomi, sosial, dan kesehatan mental.
Bencana Sumatera 2025 dan peta “Hutan Sumatera Lenyap” adalah dua sisi dari koin yang sama. Yang satu menunjukkan dampak, yang lain memperlihatkan sebab. Jika kita terus memisahkan keduanya membahas bencana tanpa membahas deforestasi, atau membicarakan pembangunan tanpa menghitung risiko maka tragedi serupa hanya tinggal menunggu waktu.
Kini saatnya keluar dari pola reaktif menuju tata kelola proaktif dan berbasis bukti. Menjaga hutan bukan sekadar agenda lingkungan, melainkan strategi penyelamatan nyawa, perlindungan ekonomi, dan investasi jangka panjang bangsa. Tanpa itu, peta-peta bencana akan terus menyusul peta hutan yang lenyap, dan kita akan terus menulis opini yang sama, dengan korban yang semakin banyak.
Penulis adalah Anggota Indonesian Society of Sustainability Professionals (IS2P), Konsultan ESG–Keberlanjutan dan Produktivitas
Republika