Kartini Melawan Feodalisme

Redaksi Redaksi
Kartini Melawan Feodalisme
foto: Ist
Kartini
REMBANG, 17 September 1904. Tepat di usia 25 tahun, Raden Adjeng Kartini menghembuskan nafas terakhirnya. Kematian telah merenggut jiwa dari raganya, meredam kegelisahannya dan memisahkannya dari kehidupan bangsanya. Dia tak dapat lagi melanjutkan cita-cita luhur yang menggelora di fikiran dan batinnya tentang semangat emansipasi, semangat pendidikan dan kemajuan bangsanya terutama kaum perempuan yang jauh tertinggal dari kaum lelaki.

Tapi siapa bilang dia sepenuhnya mati? Fikiran-fikirannya tetap hidup dan memberi terang bagi zaman-zaman berikutnya. Buah fikirannya yang luhur abadi sepanjang masa Ibarat anak panah yang dilepaskan dari busurnya, fikiran-fikirannya melesat jauh, melampaui batas-batas usianya, melewati zaman-zaman yang tak terjamah hidupnya dan menancap dalam jiwa dari generasi ke generasi selanjutnya. Meminjam perkataan Pramoedya Ananta Toer, dia telah bekerja untuk keabadian.

Tulisan yang Memberontak

Bagi Kartini, menulis adalah jalan menyalurkan kegelisahan batin dan pikirannya, menjalin jejaring persahabatan, dan berdialog dengan semangat zaman di luar dunia sempit bangsanya. Sehingga dengan menulis, selain fikiran dan kegelisahannya menemui saluran ekspresinya, dia juga menemukan semangat dan pengetahuan baru yang didamba-dambanya. Dan yang terpenting, menulis adalah menebarkan cita-citanya.

"...sebagai pengarang, aku akan bekerja secara besar-besaran untuk mewujudkan cita-citaku, serta bekerja untuk menaikkan derajat dan peradaban rakyat kami" (kutipan surat Kartini dalam pengantar buku "Panggil Aku Kartini Saja").

Kartini menjalin surat-menyurat dengan beberapa sahabat Eropanya. Satu di antaranya Nona Zeehandelar. Kepadanya, dia menuturkan bahwa dirinya memendam kebebasaan sudah semenjak masih kanak-kanak. Hasrat itu hidup dan berkembang makin lama makin besar dalam dirinya. Suratnya tertanggal 25 Mei 1899 menuturkan itu:

"...pada masa saya masih kanak-kanak, ketika kata "emansipatie" belum ada bunyinya, belum ada artinya bagi telinga saya, serta karangan dan kitab tentang pasal itu masih jauh dari jangkauan saya, telah hidup dalam hati saya suatu keinginan, yang makin lama, makin besar; keinginan akan bebas, merdeka, berdiri sendiri...".

Sayang, hasrat dan kenyataan tak dapat bersua. Kemerdekaannya terenggut setelah usia 12 tahun demi menjalani masa-masa pingitan. Tumpahlah hasratnya pada khayalan utopis. Yang lebih tragis, orang-orang sekelingnya alih-alih menerima pikirannya, mereka justru menilai pikirannya sebagai tak patut. Tentu membuatnya semakin sedih.

"...keadaan sekeliling saya, memilukan hati, menerbitkan air mata karena sedih, yang tak terkatakan, keadaan itulah yang membangunkan keinginan hati saya itu".

Dalam diam dan kesunyian jiwanya, dia menggerutu tentang keadaan, mengeluhkan praktik-praktik budaya feodalisme pribumi yang - menurut bung Karno - "sakitan". Dengan hati dan fikiran yang sepenuhnya yakin dengan ketidakberesan keadaan itu, dia memberontak tata krama feodal itu. Meskipun tidak sepenuhnya tampak lewat sikap dan laku nyata kesehariannya, suratnya kepada Stela Zeehandelar (18 Austus 1899) cukup kuat menggambarkan ketidaksukaannya terhadap praktik-praktik tersebut.

"Mengejutkan adat kami orang Jawa. …Adikku harus merangkak, bila hendak lalu di mukaku. Kalau ada adikku duduk di kursi, apabila aku lalu, haruslah dengan segera ia turun duduk di tanah, dengan menundukkan kepala, sampai aku tiada kelihatan lagi" (Pramoedya Ananta Toer, 2010:90).

Dia juga menggugat kakunya orang – di bawah feodalisme Jawa – dalam bertegur sapa satu sama lain. Dalam hubungan ini, Kartini menggambarkan bahwa saudara-saudaranya yang lebih muda dituntut memakai bahasa jawa kromo apabila mau menegurnya.

"...Tiada boleh adik-adikku ber-kamu dan ber-engkau kepadaku, hanya dengan bahasa kromo, boleh dia menegurku, tiap-tiap kalimat yang disebutnya haruslah dihabisinya dengan sembah" (Pramoedya Ananta Toer, 2010:90).

Bagi kita yang hidup di zaman modern ini, tidaklah sulit menerima fikiran-fikiran Kartini. Namun, bila hidup di masanya, kita barangkali merasa betapa binalnya pikirannya itu. Sesuai tata krama yang berlaku saat itu, fikiran Kartini tidaklah sulit untuk dicap sebagai "tidak beradab", "menyimpang" dan mungkin siapapun – baik secara terang-terangan atau diam-diam – akan mengutuk perilaku ini. Praktis, Kartini akan menanggung beban sanksi moral dari masyarakat.

Tentu dia sadar dengan fikirannya itu. Sebagai perempuan pribumi yang berpendidikan, persahabatan dan jalinan surat-menyurat dengan rekan-rekan Eropanya, Kartini menemukan pengetahuan dan semangat budaya yang beda dari praktik feodalisme bangsanya. Dia menemukan kesetaraan dalam hubungan sosial, kesetaraan dalam pendidikan, kebebasan bagi perempuan, dan semangat ala Eropa lainnya – terlepas dari sisi lain kolonialisme dan imperialisme Eropa.

Alhasil, dari kehidupannya yang singkat, dia telah mengabdikan diri. Dia telah memberontak melalui pikiran dan tulisan atas praktik feodalisme. Dan catatan-catatan pemberontakannya telah mengalir hidup hingga kini.
Bagaimana pengabdian dan cita-citanya dapat terus hidup, adalah tugas kita sebagai generasi sekarang. Yang pasti, Kartini, sebagaimana para leluhur bangsa ini yang lain yang juga mencita-citakan kebaikan, cita-cita dan pengabdiannya demi kebaikan generasi kita dan selanjutnya.

Ciputat, 21 April 2015

Oleh: Sulaiman
Mahasiswa Sosiologi, FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Penggiat Klub Kajian "INCA" dan "KASOGI"

(ful/okezone)

Tag:
Berita Terkait
Segala tindak tanduk yang mengatasnamakan wartawan/jurnalis tanpa menunjukkan tanda pengenal/Kartu Pers riaueditor.com tidak menjadi tanggungjawab Media Online riaueditor.com Hubungi kami: riaueditor@gmail.com
Komentar
Berita Terkini