PEKANBARU - Tergugat Chandra Gunawan alias Ayau warga Perdagangan (Sumut) tak perduli dengan Putusan Tetap Mahkamah Agung RI yang menyatakan lahan perkebunan sawit seluas 173 hektar yang terletak di wilayah Kepenghuluan Sintong Kecamatan Tanah Putih Kabupaten Rokan Hilir (Rohil) Provinsi Riau berada di dalam kawasan hutan dan dikelola tanpa izin. Belum lagi lahan negara yang dikuasai Ayau di Kenagarian Buluh Nipis, desa Kepau Jaya, Kampar, Riau.
Informasi yang dirangkum di lapangan, pasca putusan Kasasi pada tahun 2018 atas lahan perkebunan kelapa sawit seluas 173 hektare yang terletak di wilayah Kepenghuluan Sintong Kecamatan Tanah Putih Kabupaten Rokan Hilir (Rohil) Provinsi Riau, dan lahan di Kenagarian Buluh Nipis, desa Kepau Jaya, Kampar masih terus dikelola dan dikuasai oleh tergugat.
Pasca Putusan Mahkamah Agung RI yang berkekuatan hukum tetap (Inkracht) tersebut tidak membawa dampak hukum sama sekali (effect of law enforcement), 'tidak ngaruh' sebelum atau pasca putusan Mahkamah Agung, penguasaan lahan negara tanpa izin tetap berlanjut.
"Ini sama saja Negara kalah dengan mafia lahan," ungkap Atuk Mijan, salah seorang tokoh masyarakat Rokan Hilir, Selasa (29/11/2022).
Diketahui sebelumnya Perkara Perbuatan Melawan Hukum (PMH) usaha perkebunan kelapa sawit tanpa izin yang berada di dalam Kawasan Hutan ini digugat oleh salah satu Yayasan dibidang Lingkungan Hidup yang berkantor di Kota Pekanbaru.
Berdasarkan informasi dari warga sekitar, objek lahan perkebunan sawit ini telah dikelola dan dikuasai tergugat hampir puluhan tahun ternyata berada di dalam kawasan hutan.
Sesuai data yang dirangkum dari laman Website resmi Sistim Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Rohil, Chandra Gunawan alias Ayau selaku pihak Tergugat sedangkan KLHK selaku Turut Tergugat.
Proses upaya hukum banding yang diajukan oleh Chandra Gunawan alias Ayau selaku tergugat akhirnya kandas, karena majelis hakim Kasasi dalam amar putusannya menyatakan mengabulkan Gugatan penggugat untuk seluruhnya.
Juga menyatakan perbuatan Tergugat adalah perbuatan melawan hukum dan dinyatakan bahwa objek status lahan seluas 173 hektare adalah berada dalam kawasan hutan.
Kemudian dalam putusan itu, “Menghukum tergugat untuk menghentikan seluruh aktivitas di atas objek perkara dan mengeluarkan seluruh karyawan dan pekerja Tergugat dari dalam objek Perkara, berikut beserta tanaman kelapa sawit dan mengembalikan objek sengketa perkara kepada Negara Kesatuan RI, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan menghukum tergugat untuk membayar seluruh biaya perkara yang timbul.
Dalam isi amar putusan majelis hakim kasasi tertanggal 2 Desember 2019 lalu, cukup jelas memerintahkan tergugat untuk menghentikan seluruh aktivitas di atas objek perkara dan mengembalikan objek perkara kepada Negara melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI.
Terkait hal ini timbul berbagai asumsi negatif, pendapat atau tanggapan di tengah masyarakat yang mengatakan "Putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum namun tidak dilakukan eksekusi oleh penggugat menduga ada permainan antara penggugat dan tergugat”.
Berdasarkan data dan informasi yang dirangkum, setelah Penggugat menerima putusan kasasi tersebut Penggugat sudah pernah mengajukan permohonan eksekusi ke pihak Pengadilan Negeri Rokan Hilir (PN Rohil).
Namun dalam proses permohonan eksekusi yang diajukan pihak Yayasan atau Penggugat terkesan ada yang janggal, alasannya permohonan eksekusi yang pernah diajukan Pemohon tertanggal 12 Januari 2021 lalu itu, kembali pihak Yayasan selaku penggugat menunda melanjutkan permohonan eksekusi karena alasan kondisi keuangan yayasan atau lembaga yang tidak mencukupi.
Selain itu beberapa informasi yang didapat awak media dari beberapa narasumber yang namanya tidak mau disebutkan dalam pemberitaan ini, penundaan permohonan eksekusi terhadap objek perkara ini diduga kuat telah terjadi kongkalikong atau perundingan antara Penggugat dan Tergugat agar Penggugat atau pemohon eksekusi tidak meneruskan permohonan eksekusi tersebut, sehingga patut diduga tergugat masih terus berani menguasai atau mengelola objek perkara karena penggugat tidak akan mengajukan eksekusi lagi ke PN Rohil atau PN Bangkinang.
“Adapun alasan penundaan atau dihentikannya eksekusi ini menurut narasumber, dikuatkan dengan adanya temuan surat pernyataan yang dibuat di kertas kop Surat Yayasan dan ditanda tangani oleh Pengurus Yayasan selaku Penggugat, yang mana dalam isi surat pernyataan tersebut menyatakan bahwa Penggugat menghentikan atau tidak akan melakukan eksekusi lagi terhadap perkara tersebut dengan alasan sesuatu hal yang tidak dapat disebutkan dalam surat pernyataan ini, "Demikian isi point nomor 2 dalam surat pernyataan Pemohon Eksekusi tertanggal 17 Juni 2020 tersebut”.
Namun bukti surat pernyataan yang ditanda tangani oleh Ketua dan Sekretaris yayasan tersebut menjadi pertanyaan, "Surat itu dibuat untuk Keperluan Siapa!! dan untuk keperluan Apa!?," ujar Narasumber kepada media ini.
Terkait hal ini, Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Bagan Siapi-api M. Arifin SH selaku perpanjangan tangan Kementerian LHK di daerah saat dimintai tanggapannya menjelaskan bahwa terhadap Objek Perkara sampai saat ini belum ada dilakukan eksekusi karena pemohon eksekusi atau Penggugat belum mengajukan eksekusi," jawabnya melalui WhatsApp nya beberapa waktu lalu.
Saat ditanya kenapa pihak KLHK tidak mengajukan eksekusi terhadap objek perkara karena putusan perkara ini Objek dikembalikan ke Negara melalui KLHK selaku pihak turut tergugat, dalam perkara ini," M. Arifin SH, menjawab “itu kewenangan KLHK pak," imbuhnya.
Sementara itu praktisi Hukum Hazizi Suwandi, S.H., M.H. saat diminta tanggapannya dalam hal ini mengatakan, "Dalam hal proses eksekusi memang hak menjalankan eksekusi adalah pihak dari pengadilan yang mana Pelaksanaan eksekusi terdiri dari ketua pengadilan negeri, panitera, dan juru sita atas permohonan para pihak," ujarnya, Selasa (29/11/22).
Dalam hal ini, Ketua Pengadilan Negeri, secara ex-officio, adalah pihak yang berwenang memimpin dan memerintahkan eksekusi sengketa perdata (Pasal 54 ayat (2) UU. No. 48 tahun 2009)," terangnya.
"Terlepas dari eksekusi dilakukan atau tidak tergantung dari pemohon eksekusi, dan setelah diajukan permohonan eksekusi barulah berjalan proses aanmaning yang dilakukan sidang insidental, terlepas hasil dari sidang insidental kembali kepada para pihak," terangnya.
Hazizi Suwandi menjelaskan terkait siapa saja yang berhak melakukan eksekusi adalah para pihak yang berperkara, artinya KLHK menurutnya dapat mengajukan permohonan eksekusi terhadap objek perkara, karena dalam amar putusan perkara kasasi jelas disebutkan Objek Perkara.
Salah satu tokoh masyarakart Rohil, Atuk Mijan berharap terhadap penguasaan lahan negara ini agar Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan RI, Prof. Dr. H. Mohammad Mahfud Mahmodin, S.H., S.U., M.I.P. atau yang lebih dikenal dengan nama Mahfud MD, agar mendesak Kejaksaan Agung menurunkan Tim ke Riau merampas harta negara dari tangan mafia itu.
“Selaku pengacara negara kita minta pak Mahfud mendesak Kejaksaan agar mengeksekusi lahan negara yang dikuasai mafia di Riau. Pak Mahfud, di Riau negara kalah dengan mafia, mohon pak Mahfud ikut bicara,” kata Atuk Mijan.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD berjanji akan menuntaskan persoalan mafia tanah, salah satunya dengan membentuk tim lintas kementerian dan lembaga pemerintah non-kementerian (K/L), termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Mafia-mafia juga akan kami selesaikan dan kami sudah sepakat untuk segera membentuk tim lintas kementerian dan lembaga, termasuk KPK, untuk melakukan prosedur dan melakukan penilaian atas ini semua. Saya akan tindak lanjuti," kata Mahfud di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (23/5/22) lalu.
Ia juga menjamin Pemerintah dan aparat penegak hukum akan sangat tegas menindak siapa pun yang terlibat dalam tindak pidana mafia tanah, "Kami masyarakat Riau menunggu janji pak Mahfud," tandas Atuk Mijan dilansir kabarriau.com, Selasa (29/11/2022).***