JAKARTA - Pemerintah Indonesia dalam nota keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2019 menetapkan nilai tukar rupiah di tahun politik mencapai Rp 14.400/US$. Angka ini naik hingga 1.000 poin dibandingkan dengan penetapan kurs di tahun 2018 yang sebesar 13.400/US$.
Kenaikan ini mempertimbangkan beberapa faktor, terutama dari sisi global. Mulai dari normalisasi kebijakan moneter di Amerika Serikat (AS) dan Eropa hingga potensi jatuhnya mata uang negara-negara kategori emerging market. Faktor-faktor tersebut begitu kuat menyebabkan mata uang garuda melemah cukup dalam beberapa waktu terakhir.
Per Agustus 2018, misalnya, pelemahan rupiah bergerak cukup dalam. Pada penutupan Kamis (16/8/2018) pukul 16:00 WIB, US$1 pasar spot dibanderol Rp 14.605/US$. Dalam seminggu saja, rupiah telah terdepresiasi hingga 1%.
Pergerakan rupiah yang menembus level psikologis di atas Rp 14.600/US$, nampaknya sulit dihindari dengan mempertimbangkan faktor-faktor di atas.
Teranyar, anjloknya mata uang lira Turki dituding menjadi biang kerok yang menyebabkan rupiah menembus posisi tersebut.
Kondisi itu lantas menjadi pertimbangkan pemerintah dalam menetapkan asumsi kurs Rp 14.000/US$.
Lantas, dengan asumsi kurs sebesar itu kira-kira apa dampaknya bagi masyarakat? Lebih besar dampak positif atau negatif? Tim Riset CNBC Indonesia mencoba menganalisis hal tersebut.
Angin Segar bagi Peluang Ekspor
Penetapan kurs di atas Rp 14.000/US$ menjadi gambaran bagi masyarakat bahwa volatilitas kurs rupiah di 2019 masih tinggi.
Lalu siapa kira-kira yang diuntungkan dengan hal ini? Tentu para eksportir dalam negeri. Pelemahan rupiah menjadi peluang bagi para eksportir untuk menambah pundi-pundi pendapatannya.
Nilai ekspor Indonesia dapat melonjak cukup tinggi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Juli 2018 menunjukkan nilai ekspor mencapai US$16,24 miliar atau naik 19,33% dibandingkan Juli 2017. Sementara secara kumulatif Januari-Juli 2018, total ekspor mencapai US$104,24 miliar atau naik 11,35% dibandingkan periode yang sama tahun 2017 yang sebesar US$93,61 miliar.
Selain faktor permintaan dari luar, pelemahan kurs ditengarai menjadi pertimbangan para eksportir meningkatkan jumlah barang yang dikirim. Hal ini pun ikut mendorong pendapatan para ekspotir pun bertambah.
Di sisi lain, pelemahan rupiah juga menjadi peluang bagi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) untuk mengembangkan pasar luar negeri. Seperti yang diketahui, porsi UMKM dari keseluruhan sektor usaha di atas 90%. Saat ini, produk UMKM yang berorientasi ekspor masih sedikit.
Pemerintah sendiri telah berupaya memfasilitasi bantuan misalnya dari sisi pembiayaan, dengan menggandeng Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). Sementara itu, Kementerian Perdagangan (Kemendag) membantu dengan mencarikan pangsa pasar.
Berbagai bantuan tersebut tentu harus dimanfaatkan oleh para UMKM, utamanya untuk menghasilkan produk berorientasi ekspor.
Kondisi pelemahan rupiah yang diperkirakan masih cukup dalam akan menjadi keuntungan tersendiri. Selain jumlah pendapatan yang diterima, UMKM pun dapat menyediakan lapangan kerja lebih banyak seiring dengan produksi yang bertambah.
Awas, Berbagai Risiko Menghantui
Sementara dari sisi negatif, tentu berkaitan dengan impor.
Data BPS per Juli 2018 menunjukkan, aktivitas impor telah meningkat tajam hingga 31,56% dibandingkan periode tahun sebelumnya. Meningkatnya impor tersebut utamanya diakibatkan kenaikan impor minyak dan gas (migas) yang naik tajam hingga 47,09% dibandingkan Juli 2017. Impor bahan baku naik 30,07% dan impor barang modal naik 24,82%.
Kesulitan Indonesia untuk mengurangi ketergantungan dari barang impor, menyebabkan pelemahan rupiah menjadi "bom waktu" yang siap meledak dan memberikan dampak buruk. Misalnya, neraca perdagangan di Juli 2018 yang mengalami defisit mencapai US$2,03 miliar atau tertinggi sejak Juli 2013.
Defisit perdagangan mengancam transaksi berjalan Indonesia di kuartal III-2018 bisa lebih tinggi.
Pada kuartal II saja, defisit telah mencapai 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau tertinggi sejak kuartal II-2014. Di sisi lain, potensi cadangan devisa Indonesia untuk bertambah pun sulit.
Akibat tindakan Bank Indonesia (BI) yang melakukan stabilitasi nilai tukar, cadangan devisa Indonesia yang dihabuskan bank sentral mencapai Rp 166 triliun sejak awal tahun.
Cadangan devisa yang turun memicu persepsi bahwa daya tahan ekonomi Indonesia akan semakin rentan terhadap risiko global. Hal ini tentu akan berdampak negatif terutama di mata investor. Akibatnya, investasi asing pun semakin sedikit yang masuk.
Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada kuartal II-2018, investasi asing anjlok hingga 12,9% dibanding periode yang sama tahun lalu.
Kondisi investasi yang anjlok dapat menghambat proses pembangunan. Seperti yang diketahui, pemerintah tidak dapat mengandalkan APBN sebagai sumber pembiayaan, sehingga investasi asing menjadi jalan keluar. Namun, dengan kondisi rupiah yang melemah maka investor pun cenderung wait and see.
(cnbcindonesia.com)