INDONESIA saat ini sedang dilanda banyak penyakit, polarisasi politik, dan sangat berbahaya apabila tidak segera diobati. Untuk mengobati penyakit ini perlu pengobatan serius, tidak cukup obat warung.
Demikian disampaikan Abdul Hamid, Ketua Dewan Pengurus LP3ES dalam membuka diskusi publik bertajuk "Masa Depan Reformasi Birokrasi dan Pemerintahan Berkaca pada Kontroversi 349 T Kementerian Keuangan RI", kerjasama Universitas Paramadina dan LP3ES, Rabu 23 April 2023.
Abdul Hamid juga menyatakan bahwa masalah-masalah polarisasi dan politik identitas harus serius diatasi agar tidak terus menerus menjadi penyakit berkepanjangan yang seringkali dimanfaatkan pada saat terjadinya hajatan politik seperti Pemilu dan Pilkada. “Negeri ini harus diobati agar tidak terus menerus ada di dalam siklus kekerasan,” ungkapnya.
Sebagai narasumber pertama, Dr. Rizal Ramli menyampaikan pendapatnya bahwa intelektual perlu aktif terlibat dalam isu-isu publik. "Melihat refleksi akademisi di masa perang kemerdekaan di mana mereka berani menyuarakan pendapat. Perubahan yang didorong oleh kalangan intelektual di masa kemerdekaan telah menghasilkan prinsip prinsip dasar kemerdekaan," katanya.
Menurut Rizal, reformasi setelah kejatuhan Soeharto berjalan cukup baik, demokrasi dan pers berjalan baik, kebijakan ekonomi Habibie berhasil menjauhkan Indonesia dari krisis.
"Namun sayangnya, lambat laun demokratisasi kembali mengalami kemunduran, terutama di masa pemerintahan saat ini. Sikap-sikap otoritarian semakin menguat di era saat ini anggota DPR dapat dipecat oleh ketua umum partai apabila bersikap kritis. Berbeda dengan masa era reformasi, DPR bersikap kritis di masa itu," urainya.
Ia mengungkapkan bahwa ketua umum partai di era ini terikat pada kekuasaan, sehingga demokrasi kepartaian berhasil dilumpuhkan. Ia menyarankan bahwa di masa mendatang ketua umum partai tidak boleh memecat anggotanya, kecuali jika terindikasi berbuat kriminal.
Rizal juga melihat adanya ironi demokrasi saat ini. "Presiden Jokowi menikmati demokrasi namun melemahkan demokrasi dengan mengikat partai partai, lalu meluncurkan isu islamophobia dan membayar buzzer," tuturnya.
Rizal juga menambahkan fenomena buzzer juga telah mendistorsi fungsi kritik yang seharusnya ada di negara demokrasi.
"Rezim pro rakyat memanfaatkan suara media untuk mengkritik diri sendiri, rezim tidak pro rakyat hobi melakukan pencitraan membayar buzzer dan media untuk menutupi keburukan pemerintahannya," ujarnya.
Senada dengan Rizal, narasumber berikutnya Direktur Center for Media and Democracy LP3ES, Wijayanto, Ph.D. memandang akademisi perlu terlibat aktif dalam menanggapi isu-isu publik. Seperti Pemilu yang akan diselenggarakan di 2024 mendatang.
"Pemilu dikhawatirkan menjadi ajang formalitas semata, yang menguasai pemerintahan hanya kelompok-kelompok tertentu," ujarnya.
Dalam paparannya Wijayanto mengungkapkan hasil Survey CSIS bahwa 54% pemilih di tahun 2024 adalah pemilih milenial. Selain itu, pemilih muda ini juga memiliki kriteria tersendiri mengenai calon pemimpin ideal.
"Mereka berharap memiliki pemimpin yang jujur, tidak korupsi, dan berpikiran progresif. Mereka tidak lagi berharap pada pemimpin yang sederhana," simpulnya.
Pemilih muda juga menaruh perhatian pada isu kesejahteraan dibanding isu-isu politik identitas dan polarisasi. Pemilih muda memandang isu ketimpangan ekonomi dialihkan pada isu politik identitas dan polarisasi yang digunakan untuk menyembunyikan ketimpangan ekonomi yang dirasakan oleh publik.
Oleh karenanya Ia menyarankan isu kesejahteraan ini perlu terus digulirkan sebagai bagian dari agenda kampanye Pemilu. Hal ini berkaca pada negara maju yang berhasil membangun negara dengan mengedepankan kampanye kesejahteraan dan layanan publik.
"Mengapa negara maju bisa mewujudkan negara kesejahteraan? Pertama karena adanya kesadaran warga negara, yang kedua, tingginya partisipasi politik warga negara, dan yang terakhir adalah kesadaran pemimpin negara," imbuhnya. (*)