Kontestasi Tata Kelola Liberal dan Keamanan: "Kemanusiaan di Tengah Persimpangan Tata Kelola Dunia Baru"

Redaksi Redaksi
Kontestasi Tata Kelola Liberal dan Keamanan: "Kemanusiaan di Tengah Persimpangan Tata Kelola Dunia Baru"
Foto: Arief Tito

JAKARTA - Dengan paradigma pembangunan yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi tinggi atau GDP Oriented, Indonesia saat ini berada dalam keadaan middle income trap terjadi trickle-up dimana sumber daya dan hasil pembangunannya mengalir dari daerah atau pedesaan ke kota-kota besar.

Hal ini disampaikan Guru Besar Universitas Paramadina Prof. Didin S. Damanhuri dalam diskusi bertajuk “Kontestasi Tata Kelola Liberal dan Keamanan: Kemanusiaan di Tengah Persimpangan Tata Kelola Dunia Baru” sebagai rangkaian Dies Natalis yang diselenggarakan Rabu (20/12/2023) di Auditorium Nurcholish Madjid Universitas Paramadina.

Diskusi yang membahas evaluasi dan proyeksi kebijakan luar negeri dan diplomasi pasca pemilu ini dimoderatori oleh Dr. Phil Shiskha Prabawaningtyas.

Prof. Didin juga menjelaskan bahwa ada tiga model orientasi pembangunan ekonomi di negara-negara berkembang, diantaranya: model orientasi pembangunan ekonomi dimana pertumbuhan PDB hanya sebagai faktor indikatif yakni pertumbuhan ekonomi tersebut dicapai melalui pemerataan; model pertumbuhan ekonomi bersama pemerataan pada zaman soeharto pada 1974 – 1978 dengan rata-rata 7,5%; model pertumbuhan ekonomi at all cost lewat privatisasi dan melalui utang luar negeri serta pembangunan infrastruktur fisik secara besar-besaran.

Menurutnya ketimpangan ekonomi yang diukur melalui rasio Gini pengeluaran menunjukkan perubahan yang berbeda di area perkotaan dan perdesaan.

“Di perkotaan, rasio Gini mengalami peningkatan dari 2014 hingga 2019, kemudian meningkat lagi dari 2020 hingga 2023. Sementara, di perdesaan terjadi penurunan pada 2012-2014, peningkatan pada 2015 dan 2018, dan penurunan lagi dari 2019-2023. Interpretasi perubahan rasio Gini ini penting dalam konteks kebijakan ekonomi dan perbandingan antara perkotaan dan perdesaan dalam hal ketimpangan,” kata Didin.

Ia menekankan bahwa langkah utama perubahan adalah orientasi pembangunan harus lebih inklusif berkeadilan sosial dalam paradigma pembangunan dan memperbaiki kelembagaan institusi sosial-ekonomi seperti BULOG, KPPU dan KPK.

“Dengan tujuan mengurangi ketimpangan serta menciptakan pasar yang lebih sehat. Sehingga high cost politik yang sangat tinggi membuat Indonesia harus membayar akan itu semua,” tambah Didin.

Ahmad Khoirul Umam , Ph.D., Dosen Paramadina Graduate School of Diplomacy melihat bahwa Cina memiliki penciptaan image yang sangat tinggi saat pemerintahan presiden Joko Widodo. “Dominasi Cina, terjadi saat perang dagang tahun 2018 – 2020. Terjadi shifting yang melakukan akselerasi dengan kekuatan ASEAN. Dimana pola kerjasama dan interaksi cenderung terjadi di ASEAN sendiri dan dominasinya lebih kuat. Dari sisi komoditas yaitu pertama elektronik, kedua transportasi dan beberapa elemen lain.” Paparnya.

“Ada situasi yang harus diantisipasi, karena mengalami dependensi yang terlalu tinggi terhadap cina. Pasca situasi pandemi, cina mengalami penurunan perekonomian sebanyak 1%, dan memberikan sampai 0,06% ke Indonesia,” ungkap Umam.

Umam menyatakan bahwa perdagangan Indonesia – Cina didominasi oleh CPO, Batubara, Logam. “Banyak TKA Cina bekerja di Indonesia, di dalam lokasi kerjanya pun dilengkapi dengan berbagai fasilitas termasuk rumah sakit, dan perkantoran, baik legal maupun ilegal, pasar dari Nikel, Logam, Batu Bara yang dihasilkan dari Indonesia adalah sama” tambahnya.

Narasumber lainnya Dr. Mohammad Riza Widyarsa. M.Si., melihat dari sudut pandang negara di timur tengah. Banyak yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, bahkan pada saat itu Irak dan Mesir yang belum merdeka dan masih dibawah kepemimpinan Inggris terus menyuarakan isu Indonesia di PBB. Pada era presiden Soekarno, kerap menyerukan tentang keharusan memperjuangkan Palestina dan membela Mesir pada konflik Suez pada tahun 1956.

Tak jauh berbeda pada era presiden Joko Widodo untuk tetap konsisten menyerukan isu Palestina.

“Presiden Jokowi berkecenderungan meneruskan program pendidikan dan capacity building bagi warga Palestina, yang sebelumnya sudah diserukan pada era presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Bahkan pada tahun 2023, OKI menunjuk presiden Joko Widodo sebagai presiden Indonesia untuk menyampaikan gencatan senjata terkait dengan konflik Gaza ke Joe Biden,” kata Riza.

“Adapun proyeksi pasca pilpres 2024 yaitu tetap memperjuangkan kemerdekaan Palestina, proyek investasi akan diteruskan, hubungan ekonomi terus dipertahankan, harus membuat neraca perdagangan surplus dengan negara-negara di Timur Tengah, dan harus memaksimalkan potensi ekonomi di Afrika Utara dan Iran,” tambahnya.(rif)


Tag:
Berita Terkait
Segala tindak tanduk yang mengatasnamakan wartawan/jurnalis tanpa menunjukkan tanda pengenal/Kartu Pers riaueditor.com tidak menjadi tanggungjawab Media Online riaueditor.com Hubungi kami: riaueditor@gmail.com
Komentar
Berita Terkini