Islam and the Current Political Situation of Bangsamoro

Redaksi Redaksi
Islam and the Current Political Situation of Bangsamoro
Foto: Arief Tito

"Tantangan yang kami hadapi adalah karena kami adalah Muslim, kami merasa sangat terdiskriminasi karena mayoritas penduduk Filipina beragama Kristen, sehingga kami tidak dapat menikmati hak dan perlindungan yang sama dari pemerintah pusat. Itu memberi kami ide untuk memisahkan diri dari negara."

Demikian disampaikan Hon. Ahod B. Ebrahim - Chief Minister Bangsamoro Autonomous Region in Muslim Mindanao dalam diskusi "Islam and the Current Political Situation of Bangsamoro Autonomous Region in Muslim Mindanao" yang dimoderatori oleh Dr. Aan Rukmana di Universitas Paramadina, Selasa (22/11/2022).

Ahod menjelaskan bahwa nama Bangsamoro berasal dari penjajah. Ketika Spanyol datang ke Filipina, mereka menemukan masyarakat Muslim di beberapa wilayah. “Sedangkan pada waktu itu Spanyol juga sedang berperang dengan orang Maroko di Spanyol, sehingga ketika mereka tahu kami Muslim mereka menyebut Moro. Moro adalah kata yang buruk, yang berarti penjahat. Dari situlah dimulainya perjuangan umat Islam di pulau yang kini disebut Filipina,” katanya.

Menceritakan awal perjuangan dimulai pada tahun 1965, ketika banyak Muslim terbunuh. Hal itu memunculkan ide untuk melawan Filipina dan membentuk negara sendiri. Pada tahun 1968 membentuk organisasi dan baru secara resmi dideklarasikan pada tahun 1970. Setelah itu terjadi diskusi dan negosiasi yang panjang.

“Pada tahun 2014, kami memiliki perjanjian pertama kami, kami menandatangani perjanjian komprehensif untuk Bangsamoro. Namun perjanjian itu tidak terlaksana, implementasi pertama terjadi ketika wakil presiden Mindanao datang, dia berusaha keras untuk mendorong implementasi hukum organik yang akan menyelamatkan Bangsamoro, Pemerintahan Otonom Muslim Mindanao. Ini adalah pertama kalinya ada hukum, Hukum Organik Bangsamoro,” jelasnya.

Pada tahun 2019 lanjutnya, mereka membentuk pemerintahan dan ada kesepakatan melakukan masa transisi 3 (tiga) tahun. “Jadi kami memulai pemerintahan dan masa jabatan kami akan berakhir pada tahun 2022. Tetapi setelah negosiasi dengan presiden, masa transisi kami akan diperpanjang 3 (tiga) tahun lagi. Jadi, itu akan berakhir pada tahun 2025,” terangnya.

“Pemerintah kami mencerminkan ideologi dan visi perjuangan, kami bekerja keras mencoba menerapkan ideologi kami yaitu Islam. Dalam tatanan politik manapun, tidak dapat diterima jika pemerintahan agamis. Jadi kami tidak bisa mendirikan pemerintahan agamis, cara kami mencoba mencerminkan ideologi kami sekarang kami ingin mendirikan pemerintahan berdasarkan moralitas. Kami percaya pemerintahan moral ini, tidak hanya berbicara untuk umat Islam, tetapi untuk agama apapun,” paparnya.

Ia juga menjelaskan bahwa saat ini telah memiliki Undang-Undang yang mengatur bagaimana menjalankan pemerintahan, Undang-Undang (UU) administrasi, UU Pelayanan Sipil, UU Pendidikan, UU Pemerintah Daerah, UU Pemilu, UU Pendapatan.

“Kami telah menyelesaikan 4 UU, masih ada 2 UU tersisa, ini cara kami menjalankan pemerintahan,” pungkasnya.(*)


Tag:
Berita Terkait
Segala tindak tanduk yang mengatasnamakan wartawan/jurnalis tanpa menunjukkan tanda pengenal/Kartu Pers riaueditor.com tidak menjadi tanggungjawab Media Online riaueditor.com Hubungi kami: riaueditor@gmail.com
Komentar
Berita Terkini