PROGRAM Adopsi Pohon yang dilaunching secara wah oleh Gubernur Riau pada 11 Agustus lalu, untuk sementara waktu program yang mengemban motto "Langkah Bersama Menuju Riau Hijau Demi Lestarinya Tanah Melayu" itu ditangguhkan menunggu adanya petunjuk atau keputusan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI.
Demikian disampaikan R Sandra Agustin, seksi penyuluhan dan perhutanan sosial, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Riau, Senin (13/12/201).
Dikonfirmasi kepada Kepala DLHK Riau, Mamun Murod membenarkan jika DLHK menyurati Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan guna meminta petunjuk pelaksanaan program Adopsi Pohon yang dilaksanakan Yayasan Adopsi Pohon Riau.
"Klhk secra fungsional merupakan induk DLHK, Sehingga wajar DLHK meminta petunjuk. Hebat yah Bapak tau ttg hal itu," jawab Murod via whaataap, Selasa (14/12/2021).
Sedari awal banyak pihak yang meragukan kesiapan program Adopsi Pohon Riau karena tanpa teknis perencanaan dan kepastian regulasi.
NGO mensinyalir ada misi terselubung, program yang sarat aroma pungli ini dipaksakan guna mengambil simpatik, bahkan dengan cara 'menyemplungkan' Gubernur Syamsuar sebagai donatur disertakan 'gili-gili' Sertifikat Penghargaan Adopsi Pohon kepada Gubernur Riau H Syamsuar MSi atas partisipasinya sebagai pengadopsi 100 Pohon senilai Rp.20.000.000.
Sokongan yang besar Gubernur Riau Syamsuar benar-benar digulai, dalam sekejap terkumpul miliaran rupiah berupa komitmen yang sudah barang tentu isinya mayoritas perusahaan tajir yang ada di Riau memberi pesan keberhasilan program Adopsi Pohon Riau.
Berbeda dari skenario awal, "Hari ini dengan mudahnya DLHK Riau mengatakan Adopsi Pohon Riau bukan program kerja DLHK Riau, melainkan Yayasan Adopsi Pohon Riau yang digawangi NGO, DLHK hanya membantu diawal sebagai sponsorship"
Apa beda Adopsi Pohon Riau dengan di Tempat lain
Secara harfiah makna Adopsi Pohon Riau adalah dana yang disumbangkan untuk masyarakat yang mengadopsi Pohon.
Mengutip analisis catatan LSM Tropika Riau, meski mengambil judul yang sama, mekanisme Program Adopsi Pohon ala DLHK Riau ini ternyata beda jauh dengan Program Adopsi Pohon Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) yang bekerja sama dengan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Conservation Indonesia (CI), dan Konsorsium GEDEPAHALA, di mana Adopter (Bapak atau Ibu Asuh) menitipkan dana sebesar Rp 70.000,- per pohon kepada masyarakat lokal untuk tujuan merestorasi/merehabilitasi kawasan TNGHS dengan penanaman pada kawasan hutan yang rusak, dalam jangka waktu adopsi selama 5 tahun. Karena setelah 5 tahun pohon dianggap akan tumbuh dengan baik.(https://halimunsalak.org/program-adopsi-pohon-halimun-salak/)
Masyarakat sekitar TNGHS diwajibkan menanam pohon adopter (pohon wajib) dan pohon restorasi (pohon prestasi) dengan perbandingan 1:4. Maksudnya adalah untuk setiap 1 pohon yang diadopsi oleh adopter, maka masyarakat diwajibkan menanam 4 pohon restorasi. Maka jika adopter mengadopsi sebanyak 100 pohon, maka masyarakat akan menanam total sebanyak 500 pohon.
Bandingkan dengan Program Adopsi Pohon Riau
Program Adopsi Pohon Riau digagas Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Riau yang notabene adalah (pemerintah daerah) dengan cara mengumpul sumbangan melalui rekening Yayasan Adopsi Pohon yang beralamatkan di Kantor DLHK Riau, (https://adopsipohonriau.org/) (Norek. 820 113 3333, Bank Riau Kepri Cabang Syariah Pekanbaru).
Sumbangan ditarik, namun pohon yang akan diadopsi masih belum jelas atau dicari, hingga DLHK kewalahan dan menggelar pelatihan kemampuan menginventarisasi potensi kayu dan non kayu di areal kerja KPH masing-masing kepada pegawai UPT KPH.
Kategori pohon yang diadopsi dikategorikan pohon muda dan pohon dewasa berdiameter >40 cm yang tumbuh alami di belantara, bukan pohon yang ditanami kemudian dirawat dan dijaga hingga tumbuh dengan baik.
Beda lainnya, sasaran Program Adopsi Pohon ala DLHK Riau ini juga tidak fokus pada kawasan tertentu, namun bersifat acak di semua Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), menempel di kawasan yang sudah mendapatkan izin Perhutanan Sosial (PS) yang notabene bagian dari program Kementerian LHK berdasarkan PermenLHK P.83 Tahun 2016 yang sudah terstruktur mekanisme program serta kelayakan perizinannya.
Sejauh penelusuran kami hanya menemukan satu-satunya regulasi terkait kata 'Adopsi Pohon', yakni di dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup RI Nomor 03 Tahun 2012 Tentang Taman Keanekaragaman Hayati yang disingkat "Taman Kehati".
Pada BAB V Kemitraan,
Pasal 17 disebutkan;
(1) Dalam pelaksanaan Taman Kehati, pemrakarsa dapat melakukan kerjasama dan kemitraan dengan pihak lain dari dalam negeri maupun luar negeri sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kegiatan antara lain:
a. adopsi pohon;
b. keanggotaan;
c. pendidikan;
d. penelitian; dan/atau
e. wisata alam.
Dilanjutkan BAB VI, PEMBINAAN
Pasal 18
(1) Menteri melakukan pembinaan kepada pemerintah daerah dalam pembangunan dan pengelolaan Taman Kehati. dst nya.
#Adopsi Pohon yang dimaksudkan di sini adalah kemitraan dalam rangka pembangunan Taman Keanekaragaman Hayati (KEHATI). Dengan demikian tidak nyambung dengan "Program Adopsi Pohon Riau" ala DLHK Riau.
Kesimpulan
Tegasnya, siapa pun pemerintahnya dalam menggagas dan melaksanakan program kerja tanpa landasan regulasi adalah tindakan melanggar hukum, karena tidak ada perangkat peraturan yang mengontrol pelaksanaan program, implikasinya tercipta ruang diskresi hingga penyalahgunaan wewenang, akar dari praktek korupsi, pungli, gratifikasi, dsbnya.
Tanpa aplikasi alokasi anggaran yang jelas, program pemerintah tidak akan menghasilkan sesuatu yang positif, karena sebuah program yang membutuhkan anggaran paling tidak menunjukan ada regulasinya, ada alokasi anggaranya, ada distribusinya, dan ada stabilisasinya.
Tanpa regulasi maka dipastikan program Adopsi Pohon Riau ala Mamun Murod akan menjadi ladang pungli yang tak berkesudahan.
Miris! di satu sisi pemprov Riau mengiming-imingi masyarakat dengan uang guna menjaga kelestarian hutan, di sisi lain pemrov Riau justru merekomendasikan persetujuan usulan kenaikan kapasitas industri berbahan baku kayu. Motto yang tepat "Hutan Hilang, Perut Buncit, Rakyat Binasa"
Kadis Fenomenal
Mamun Murod adalah sosok fenomenal dalam sejarah pergantian kepala dinas lingkungan hidup dan kehutanan di Riau, karena mendapat banyak penolakan dari berbagai lembaga independen seperti LSM atau NGO di Riau.
Seperti penolakan Walhi Riau dan Jikalahari pada Mei 2020 lalu yang mendesak Gubernur Riau Syamsuar untuk tidak memilih Mamun Murod sebagai Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan karena akan menghambat perkembangan Riau Hijau.
“Riau Hijau yang digadang gadang Gubernur Riau Syamsuar butuh Kepala Dinas yang progresif, membuka ruang partisipasi publik dan berdiri di atas semua pemangku kepentingan," kata Riko Kurniawan, Direktur Walhi Riau ketika itu.
Riko menegaskan ketiga syarat itu tidak kami temukan di sosok Mamun Murod selama menjabat Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan di Kabupaten Kepulauan Meranti.
Dari kabar yang beredar, ada tokoh Riau dibelakangnya yang membuat Syamsuar tak berkutik untuk berkata tidak. Akibatnya selama Murod memimpin DLHK Riau sosok Gubernur Syamsuar benar-benar digulai sebagai nilai tawar seperti saat melaunching program Adopsi Pohon dimana DLHK Riau memposisikan diri sebagai sponsorship.
Sebagai pejabat Esselon II yang sudah belasan tahun berkiprah melayani kepala daerah Kepulauan Meranti berkuasa hingga dua periode, MM pastilah sadar bahwa pencitraan yang dia kemas berisiko gagal, namun MM juga sadar bahwa atasannya "S" tipe yang mudah disesatkan.
Ini pula alasan kuat membuatnya kembali nekat di skenario agenda kedua, "Normalisasi Sungai Bangko" guna mempertajam hasil evaluasi kinerjanya selaku pejabat yang loyal lagi andal.
Diagenda kedua ini, program "Normalisasi Sungai Bangko" MM Mantan Kepala Bappeda Kepulauan Meranti ini kembali menunjukan jati dirinya, mengumpulkan 18 perusahaan tajir perkebunan kelapa sawit dan PKS yang beroperasi di Rokan Hilir untuk berpartisipasi mengeruk sungai Bangko tanpa perhitungan Analisis Dampak Lingkungannya (AMDAL).
Sebagai Pejabat Esselon II jebolan fakultas kehutanan IPB ini, dengan jam terbang tinggi MM sangat fasih tentang normalisasi sungai karena itu bagian dari perpustakaannya. Namun MM juga sadar bahwa secara teknis itu bukan gawean DLHK Riau melainkan tugas dan kewenangan Balai Wilayah Sungai Sumatera III (BWSS III).
Catatan Harijal Jalil