Sejarah Pemberontakan di Provinsi ‘Garis Keras’ ala Mahfud MD

Redaksi Redaksi
Sejarah Pemberontakan di Provinsi ‘Garis Keras’ ala Mahfud MD
(CNN Indonesia/Andry Novelino)
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD.

Mahfud MD jadi bulan-bulanan sejumlah pihak dalam beberapa hari terakhir karena ucapannya bahwa Prabowo Subianto-Sandiaga Uno meraih kemenangan di provinsi 'garis keras' seperti Aceh, Sumatera Barat, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan.

Video kala Mahfud berbicara demikian beredar luas di media sosial. Frasa 'garis keras' dalam ucapan Mahfud membuat mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu dihakimi secara verbal di media sosial, terutama oleh barisan pendukung Prabowo-Sandi.

"Tetapi kalau dilihat sebarannya di beberapa provinsi yang agak panas pak Jokowi kalah. Dan itu diidentifikasi tempat-tempat kemenangan pak Prabowo itu diidentifikasi dulunya dianggap sebagai provinsi garis keras dalam hal agama. Misalnya Jawa Barat, Sumatera Barat, Aceh dan sebagainya. Sulawesi Selatan juga," tutur Mahfud.

Mahfud menjelaskan bahwa frasa 'garis keras' sama dengan fanatik. Menurut dia frasa itu umum dalam ilmu politik. Mahfud kemudian mencuit riwayat pemberontakan di masa silam yang didasari oleh agama.

"Saya katakan dulunya karena dua alasan: Satu, dulu DI/TII Kartosuwiryo di Jawa Barat, dulu PRRI di Sumatera Barat, dulu Gerakan Aceh Merdeka di Aceh, dulu DI/TII Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan. Lihat di video ada kata 'dulu'. Puluhan tahun terakhir sudah menyatu. Maka saya usul Pak Jokowi melakukan rekonsiliasi, agar mereangkul mereka," cuit Mahfud.

Mahfud juga telah meminta maaf, tetapi kemarahan dan kritik sebagian pihak belum mereda. 

Selain karena sensitivitas politik pasca Pilpres, kritik dan kemarahan itu mungkin dipicu pernyataan Mahfud yang dalam beberapa hal tidak tepat karena melabeli provinsi garis keras dalam hal agama. 

Dia lupa hanya sedikit peran agama dalam sejumlah pemberontakan tersebut. Pada kasus seperti GAM dan PRRI Permesta, pemberontakan bahkan dipicu bukan oleh agama, melainkan ketidakpuasan terhadap kepemimpinan pemerintah pusat. 

Berikut riwayat singkat pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di provinsi 'garis keras' ala Mahfud MD.

Pemberontakan DI/TII Kartosuwiryo di Jawa Barat

Bermula dari kekecewaan terhadap hasil Perundingan Renville pada Desember 1947. Perundingan itu wilayah Indonesia hanya sebatas Sumatera, Jawa Tengah, dan Yogyakarta. Selebihnya, termasuk Jawa Barat dan Jawa Timur, merupakan milik Belanda.

Pemerintah lalu memindahkan pasukan dari Jawa Barat yakni Kodam Siliwangi dan Kodam Brawijaya Jawa Timur. Keduanya dipindahkan ke Jawa Tengah bergabung dengan Kodam Panembahan Senopati (kini Kodam Diponegoro). Alhasil, Jawa Barat mengalami kekosongan militer.

Sejarawan Deliar Noer, dalam Partai Islam di Pentas Nasional, menyebut tidak semua pasukan dari Jawa Barat hijrah ke Jawa Tengah. Deliar menilai masih banyak kekuatan bersenjata yang menamakan dirinya Hizbullah dan Sabilillah menetap di Jawa Barat. Khususnya wilayah Garut, Tasikmalaya dan sekitarnya.

Mereka dipimpin oleh pimpinan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yakni Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo, mantan anggota Sarekat Islam.

Hizbullah dan Sabilillah tidak ikut hijrah ke Jawa Tengah lantaran pertimbangan bersifat pribadi. Mereka merasa bertanggung jawab terhadap kampung halaman dan sanak saudara. 

Kartosuwiryo kemudian mengubah angkatan tersebut menjadi gerakan baru bernama Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia. Namun, seiring berakhirnya perang, DI/TII Kartosuwiryo  melangkah lebih jauh dengan menolak bergabung dengan Indonesia dan memproklamirkan Negara Islam Indonesia (NII).

NII dideklarasikan di Tasikmalaya pada 7 Agustus 1949. DI/TII juga tidak terima ketika pasukan Kodam Siliwangi mulai kembali ke Jawa Barat. Menurut mereka, tentara Indonesia sudah terkontaminasi oleh golongan komunis yang memberontak di Madiun 1948 silam.

Sejarawan Universitas Indonesia Mohammad Iskandar menyebut DI/TII Jawa Barat kerap melakukan teror dalam rentang 1949-1962. Mereka melakukan aksi teror sekaligus mengambil kebutuhan logistik dari masyarakat sekitar.

"Saya sendiri termasuk yang ikut mengungsi ke pinggiran kota menjelang sore hari dan kembali ke kampung setelah salat Subuh. Masyarakat yang anti DI/TII banyak yang diteror dan dibunuh oleh DI/TII," ujar Iskandar.

Anggota DI/TII semakin berani sepanjang 1950-an. Hal itu terjadi lantaran kekuatan DI/TII dan TNI sudah tidak berbeda jauh. Baik dari segi persenjataan mau pun pengalaman tempur.

"Sampai dengan awal tahun 1960, hampir semua jalan raya penghubung kota-kota di Jawa Barat tidak aman," katanya.

Presiden Sukarno yang geram dengan sepak terjang DI/TII akhirnya menginstruksikan aparat untuk mengambil tindakan lebih tegas. Itu dikatakan Sukarno saat berpidato di Istana Negara pada 17 Agustus 1953.

"Sekali lagi, hai, tentara dan polisi dan rakyat, perlipatgandakanlah usahamu membasmi pengacau-pengacau itu. Segala jalan harus dilalui. Kalau kata-kata saja tak dapat menyehatkan jiwa yang kebingungan, apa boleh buat. Suruhlah senjata berbicara satu bahasa yang lebih hebat lagi," kata Sukarno seperti dikutip dari Harian Merdeka, 18 Agustus 1953.

DI/TII pimpinan Kartosoewiryo baru benar-benar bisa dipadamkan pada 1962 melalui Operasi Barata Yudha atau Operasi Pagar Betis. Kartosoewiryo ditangkap di Gunung Beber, Majalaya lalu dieksekusi mati di Kepulauan Seribu, Jakarta Utara.

PRRI Sumatera Barat hingga Gerakan Aceh Merdeka

Pemberontakan DI/TII Sulawesi Selatan Kahar Muzakkar

Pemberontakan DI/TII juga terjadi di wilayah Sulawesi Selatan pimpinan Kahar Muzakkar. Kahar merupakan milisi. Dia memimpin pejuang kemerdekaan yang tergabung dalam Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan.

Sejarawan Universitas Indonesia Anhar Gonggong menyebut pemberontakan Kahar terbagi menjadi dua, yakni antara 1951-1953 dan 1953-1965. Hal itu tertera dalam bukunya Abdul Qohhar Mudzakar: Dari Patriot Hingga Pemberontak (1992).

Fase pertama adalah masa penggalangan dan peralihan. Sementara fase kedua yakni tahap Revolusi Islam. Salah satu operasinya yakni Operasi Toba (Operasi Taubat) untuk menghapuskan tindakan yang dilarang ajaran Islam. Pada intinya, Kahar ingin ada banyak perubahan di Sulawesi Selatan.

Anhar menuturkan Kahar sempat memproklamasikan Republik Persatuan Islam Indonesia (RPII) pada 14 Mei 1962. Kahar juga didapuk sebagai Pejabat Khalifah. 

Dalam aksinya, Kahar dan pasukannya tak bisa bergerak secara sporadis. Mereka cenderung terpaku di hutan-hutan sekitar Gunung Latimojong, Enrekang, Sulawesi Selatan. Kahar cs tidak bisa bermanuver di kota Makassar.

Kahar dan pasukannya terus melemah menghadapi TNI. Namun, mereka tidak mudah menyerah. Perlawanan terus dilakukan meski kepayahan, hingga Kahar tertembak di sekitar Sungai Lasalo pada Februari 1965.

PRRI di Sumatera Barat

Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) terbentuk lebih karena ketidakpuasan sejumlah perwira TNI di Sumatera terhadap pemerintah pusat. 

Gerakan ini juga ditunggangi  Central Intelligence Agency (CIA) untuk menangkal pengaruh komunisme di Indonesia. Dengan kata lain, bukan didasari oleh fanatisme agama.

Mulanya pada 21-24 November 1956, diselenggarakan suatu reuni para mantan prajurit Divisi Banteng di Padang, Sumatera Barat. Letkol Ahmad Husein menjadi ketua panitia acara. 

Divisi Banteng memiliki peran penting dalam perang mempertahankan kemerdekaan di Sumatera Tengah. Leirissa, dalam bukunya berjudul PRRI Permesta Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis (1991) menyebut reuni itu merumuskan sejumlah hal. 

Di antara rumusan itu adalah perbaikan radikal terhadap masalah kepemimpinan negara serta pemberian otonomi seluas-luasnya bagi Pemerintah Daerah Sumatera Tengah. Kecenderungan sentralistik dalam birokrasi juga harus dihapus, agar pembangunan dapat berjalan merata.

Usai reuni, Letkol Ahmad Husein lantas membentuk Dewan Banteng bersama 16 orang perwira dan eks Divisi Banteng lainnya. Itu dilakukan untuk merealisasikan poin-poin hasil reuni eks Divisi Banteng.

Awal Desember 1956, giliran Dewan Gajah dibentuk di Sumatera Utara. Kolonel Maludin Simbolon tokoh penggeraknya. Letkol Barlian juga mendirikan Dewan Garuda di Sumatera Selatan.

Situasi tanah air pada akhir tahun 1956 jadi mencekam. Pimpinan Dewan Banteng, Letkol Ahmad Husein merebut posisi Gubernur Sumatera Tengah Ruslan Mulyoharjo karena dianggap tak becus membangun. Itu terjadi pada 20 Desember.

Dua hari kemudian, yakni 22 Desember, pimpinan Dewan Gajah Maludin Simbolon melepaskan hubungan dari Pemerintah Pusat untuk sementara. 

Dewan Gajah, tutur Simbolon melalui RRI Medan, tidak lagi mengakui kabinet Ali Sastroamidjojo II yang sedang menjabat. Dewan Gajah juga mengambil alih pemerintahan di Sumatera Utara.

Pemerintah pusat di Jakarta berupaya menempuh jalan damai dengan Dewan-Dewan di Sumatera. Namun, tak pernah berhasil.

John Roosa, dalam Dalih Pembunuhan Massal (2008), mengatakan bahwa Simbolon cs mendapat bantuan dari Amerika Serikat (AS) dalam menjalankan aksinya. Bagi AS, Simbolon cs dapat ditunggangi demi mengisolasi Jawa.

"CIA memberikan uang muka sebesar $50 ribu kepada Kolonel Simbolon pada awal Oktober 1957 dan mulai mengirim senjata pada bulan berikutnya," tulis Roosa.

Simbolon cs tidak kunjung mau mengakui pemerintah pusat. Solusi damai tak tercapai. Hingga kemudian, rapat besar di Padang pada 10 Februari 1958 menghasilkan sejumlah tuntutan kepada pemerintah pusat. 

Simbolon cs meminta Kabinet Djuanda menyerahkan mandatnya kepada presiden maksimal lima hari ke depan. Mereka juga meminta agar Sukarno memberikan mandat kepada Mohammad Hatta dan Sultan Hamengkubuwono IX untuk membentuk zaken kabinet. 

Tuntutan ditolak. Simbolon cs merespons dengan mengumumkan berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Padang. Syafruddin Prawiranegara ditunjuk sebagai perdana menteri.

Pemerintah pusat semakin gusar, khususnya Presiden Sukarno. Jalan militer menjadi pilihan. Pasukan dari Kodam Siliwangi dan Kodam Diponegoro pimpinan Ahmad Yani dikirim pada awal Maret untuk menumpas Simbolon cs di seantero Sumatera. Pemberontakan baru beres ditumpas pada 4 Mei 1958. 

Gerakan Aceh Merdeka (GAM)

Hasan Tiro memperkenalkan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada Desember 1976 di Perbukitan Halimon, Pidie. 

Momen itu dilakukan bersama kelompoknya usai menyerang pabrik tambang pengolahan gas alam cair di Arun. Gaung GAM terdengar hingga ke Jakarta.

Hasan Tiro sendiri meneruskan perjuangan Daud Beureuh yang lebih dulu memberontak. Pada Desember 1953, Daud menyatakan bahwa kelompoknya terafiliasi dengan DI/TII Kartosuwiryo di Jawa Barat.

Sepak terjang Daud dan kawan-kawan baru bisa dipadamkan pemerintah pusat pada 1962 melalui musyawarah. Namun, gerakan mereka tidak sepenuhnya punah. Hasan Tiro mengonsolidasikan kekuatan kembali medio 1970-an.

Perbedaan antara Daud Beureuh dan Hasan Tiro terletak pada narasi untuk merekrut massa. 

Daud cenderung memainkan isu ketimpangan dari hasil pengelolaan tambang di Aceh. Tiro selalu mengutarakan bahwa eksploitasi, khususnya gas alam cair, tidak dinikmati secara maksimal oleh warga lokal. 

Menurut Michael L. Ross dalam Resources and Rebellion in Aceh, Tiro cemas tidak mendapat dukungan dari dunia internasional jika isu negara Islam yang dikampanyekan. Karenanya, dia memilih narasi tentang pengelolaan sumber daya alam yang tidak adil.

Aksi Tiro tidak diabaikan pemerintah. Perlawanan mereka terus digerus oleh tentara. Menjelang 1980, banyak anggota GAM tewas, dipenjara dan melarikan diri. Tiro juga pergi ke luar negeri bersama tokoh lainnya.

Lihat juga: Pemerintah Tak Akan Perlakukan Din Minimi seperti GAM dan OPM

Kirsten E. Schuhlze dalam The Free Aceh Movement (GAM): Anatomy of a Sepatarist Organization (2004) menyebut banyak anggota GAM mendapat pelatihan militer di Libya. 

Peran Libya membuat GAM kembali solid dan kuat. Manuver GAM tidak pernah bisa dipadamkan hingga 1990-an. Pemerintah menurunkan lebih banyak tentara ke Aceh saat Megawati Soekarnoputri menjabat sebagai presiden. 

Meski memakan waktu yang sangat panjang, namun pemberontakan GAM berhasil diredam lewat perundingan. Pada 27 Februari 2005, perwakilan pemerintah dan GAM mulai menjajaki perundingan di Vantaa, Finlandia. 

Kesepakatan damai pun tercipta dengan beberapa syarat. Salah satunya adalah Aceh boleh memiliki partai lokal dan mantan anggota GAM diberikan amnesti.

(cnnindonesia.com)


Tag:
Berita Terkait
Segala tindak tanduk yang mengatasnamakan wartawan/jurnalis tanpa menunjukkan tanda pengenal/Kartu Pers riaueditor.com tidak menjadi tanggungjawab Media Online riaueditor.com Hubungi kami: riaueditor@gmail.com
Komentar
Berita Terkini