JAKARTA - Rencana pemindahan Ibu Kota dari Jakarta sudah semakin terang. Akhir pekan lalu Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan terang-terangan meminta izin untuk memindahkan Ibu Kota Negara ke pulau Kalimantan di hadapan DPR dan DPD RI.
"Dengan memohon Ridho Allah SWT, dengan meminta izin dan dukungan dai Bapak Ibu Anggota Dewan yang terhormat, para sesepuh dan tokoh bangsa, terutama dari seluruh rakyat Indonesia, dengan ini saya mohon izin untuk memindahkan ibu kota negara kita ke Pulau Kalimantan," kata Jokowi dalam sidang bersama DPR RI dan DPD RI hari Jumat (16/8/2019).
Namun, sejatinya wacana pemindahan Ibu Kota bukanlah hal yang benar-benar baru. Sudah sejak masa masa pemerintahan Presiden pertama RI, Soekarno, wacana tersebut mencuat. Bahkan hampir setiap Presiden yang memimpin negeri ini melakukan kajian tentang pemindahan Ibu Kota.
Namun, apa yang salah dengan Jakarta sehingga pusat pemerintahan harus dipindah ke tempat lain?
Semua Bertumpu di Jakarta
Sebagai informasi, saat ini Jakarta merupakan pusat pemerintahan sekaligus pusat aktivitas perdagangan di Indonesia.
Sebagai pusat pemerintahan, Jakarta menampung 939.236 orang Pegawai Negeri Sipil (PNS) Pemerintah Pusat. Sementara PNS Pemprov DKI Jakarta hanya sebanyak 69.549 orang.
Selain itu Jakarta juga dekat dengan kawasan industri Bekasi, Karawang, dan sekitarnya. Di Jakarta pula pelabuhan perdagangan internasional utama Indonesia, Tanjung Priok berada.
Seluruh aktivitas tersebut bercampur aduk menjadi satu dan membebani Kota Jakarta.
Penduduk Semakin Padat
Pada tahun 2030, Bank Dunia memperkirakan 60% dari penduduk dunia (termasuk Indonesia) akan tinggal di kota.
Artinya setiap hari akan ada manusia-manusia baru yang memberikan andil terhadap kepadatan penduduk, tak terkecuali Jakarta.
Pada mulanya, Jakarta yang dahulu bernama Batavia dibangun oleh Belanda sebagai kota pelabuhan untuk perdagangan dan hanya dirancang untuk menampung 600.000 jiwa.
Namun kini Jakarta harus menjadi rumah bagi lebih dari 10 juta jiwa. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2017, tingkat kepadatan penduduk Jakarta adalah sebesar 15.366 jiwa/km2.
Bila daya tarik perkotaan semuanya diserap oleh Jakarta, maka kepadatan tentu akan meningkat.
Kepadatan penduduk tentu saja akan membuat kota akan semakin tidak nyaman untuk ditinggali. Stress yang meningkat akan menggiring tingkat kejahatan lebih tinggi lagi.
Maka dari itu kota baru untuk memecah konsentrasi penduduk jelas diperlukan.
Kualitas Air Makin Buruk
Selain potensi pencemaran yang meningkat seiring padatnya penduduk, konsumsi air tanah yang terus meningkat juga bukan kabar baik bagi sebuah wilayah.
Pasalnya dengan semakin banyak air tanah yang dipompa keluar, maka air asin yang berasal dari laut akan semakin mudah menembus lapisan air tanah Kota Jakarta.
Fenomena ini disebut dengan intrusi air laut, yang menyebabkan kandungan garam pada air tanah meningkat. Kala itu terjadi, air tanah yang biasanya digunakan untuk minum atau mandi menjadi lebih asin dan tidak layak untuk digunakan.
Hari ini pun kualitas air tanah Beberapa wilayah di kawasan utara Jakarta sudah dikategorikan Air Tanah Asin, berdasarkan data dari Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Provinsi DKI Jakarta tahun 2006.
Banjir Tahunan
Masalah banjir tampaknya bukan hal yang sederhana di Jakarta ini.
Pasalnya secara geografis, sebagian wilayah di DKI Jakarta memang sudah berada di bawah permukaan air. Catat, di bawah permukaan air bukan berarti Jakarta sudah tenggelam, karena di wilayah pantai utara masih bisa menahan air laut agar tidak masuk. Selain itu masih ada tanggul-tanggul yang menahan luapan air sungai.
Namun kala sungai kelebihan debit air karena hujan yang terlampau deras, air kemungkinan besar memang akan menggenang dan menyebabkan banjir. Jakarta sudah seperti mangkuk ayam.
Salah satu penyebabnya adalah marahnya pembangunan infrastruktur berat di Jakarta, seperti gedung, jalan, perumahan, dan jembatan. Beban akibat struktur tersebut membuat tanah di beberapa wilayah amblas. Ini tak kasat mata, harus diukur menggunakan metode ilmiah.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) ITB, setiap tahun permukaan tanah Jakarta semakin turun dengan kecepatan 1-12 cm/tahun secara variatif di berbagai daerah.
Penelitian tersebut juga mengatakan bahwa sepanjang 2002-2010 permukaan tanah di daerah sekitar Pantai Indah Kapuk telah amblas sebesar 116 cm.
Hal tersebut terjadi karena maraknya pembangunan infrastruktur berat seperti jalan, gedung, rumah, dan jembatan.
Alhasil, semakin lama makin banyak daerah yang memiliki level yang lebih rendah dibanding permukaan laut. Akibatnya, sungai yang normalnya bisa mengalirkan air hujan ke laut menjadi terhambat dan mengakibatkan genangan-genangan dan banjir.
Bila pembangunan terus dipusatkan di Jakarta, akan fenomena ini akan berlanjut. Banjir pun akan semakin sulit untuk ditanggulangi.
Macet yang Berkelanjutan
Sebagai akibat dari aktivitas perekonomian dan pemerintahan yang terpusat di Jakarta, kemacetan menjadi hal yang semakin sulit untuk diurai.
Celakanya, kemacetan ternyata punya dampak negatif terhadap perekonomian.
Menurut Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro kemacetan parah yang terjadi di Jakarta berpotensi mengakibatkan kerugian hingga triliunan rupiah setiap tahunnya.
"Kerugian perekonomian dari kemacetan ini data tahun 2013 ini Rp 65 triliun per tahun dan sekarang angkanya mendekati Rp 100 triliun dengan semakin beratnya kemacetan di wilayah DKI Jakarta," ungkap Bambang di Kantor Presiden, Senin (29/4/2019).
Jelas saja, dengan adanya kemacetan, maka waktu tempuh kendaraan bermotor akan semakin lama. Ujungnya mengakibatkan konsumsi bahan bakar yang tidak efisien. Bayangkan saja jutaan kendaraan terpaksa menghabiskan bahan bakar selama beberapa jam hanya untuk bertahan di titik kemacetan.
Selain itu, ada pula nilai produktivitas sumber daya manusia yang hilang akibat mobilisasi terhambat. Dalam dunia usaha, ada potensi kerugian peluang (opportunity loss) akibat tidak dapat mengerjakan suatu hal karena harus terjebak kemacetan.
Bila Jakarta terus dijadikan sebagai pusat dari segalanya, maka kemacetan akan semakin sulit untuk diurai.
Berdasarkan salah satu penelitian yang dipublikasikan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, pertumbuhan jumlah kendaraan sudah jauh melampaui pertumbuhan ruas jalan per tahun.
Contohnya pada tahun 2010, pertumbuhan jumlah kendaraan mencapai 11%, sedangkan pertumbuhan ruas jalan hanya sebesar 0,01%.
TIM RISET CNBC INDONESIA