JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan beberapa kepala daerah bisa ditetapkan sebagai tersangka dengan tingkat penetapan mencapai 90 persen. Artinya hanya tinggal memenuhi administrasi untuk penetapan tersangka.
Ketua Agus Raharjo KPK menjelaskan angka 90 persen bukan menyatakan 90 persen calon kepala daerah akan menjadi tersangka. Akan tetapi, beberapa calon kepala daerah bisa menjadi tersangka dengan tingkat persentase penetapan sebagai tersangka oleh KPK hingga 90 persen.
"Beberapa peserta Pilkada, most likely (90 persen) akan jadi tersangka," kata Agus dalam keterangan tertulis, Kamis (8/3/2018).
Agus menerangkan, beberapa peserta Pilkada bisa ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK lantaran tinggal memenuhi syarat administratif. 90 persen menunjukkan bahwa beberapa kepala daerah tersebut sudah memenuhi syarat pokok perkara korupsi untuk ditetapkan sebagai tersangka.
"Artinya 90% itu, terhadap beberapa calon tadi, penyelidikan sudah dilakukan lama, expose sudah dilakukan di hadapan pimpinan, dan sudah disetujui oleh pimpinan untuk naik ke penyidikan. Tinggal 10% itu proses administrasi keluarnya sprindik dan diumumkan," lanjut Agus.
Kabiro Humas KPK Febri Diansyah menegaskan KPK tidak pernah mengatakan 90 persen kepala daerah terlibat korupsi. Lembaga antirasuah justru menjelaskan, kasus yang ditangani KPK merupakan kasus kepala daerah yang ditangani bila memiliki bukti yang cukup.
"Ketika kami sudah menangani kasus tersebut, tentu KPK yakin kasus yang kita tangani itu harus didukung bukti yang kuat. Jadi angka 90 persen itu pengandaian tentang keyakinan KPK terhadap bukti-bukti ketika kami menangani perkara," kata Febri di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta, Kamis.
Febri menegaskan, selama bukti cukup, KPK akan melakukan penyidikan. Mereka menegaskan, penindakan tidak berkaitan dengan proses pilkada. "Sekalipun dia kepala daerah atau calon kepala daerah, tapi dia penyelenggara negara, tetap akan kita akan lakukan sepanjang buktinya kuat. Jadi yang kita jalankan adalah proses hukum, bukan proses politik," kata Febri.
KPK tidak merinci apakah dokumen intelijen yang diberikan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sebagai acuan penindakan kepada kepala daerah. Seperti diketahui, PPATK memberikan 350 laporan analisis lebih kepada KPK sejak 2013. Sekitar 34 laporan digunakan untuk kepentingan perkara. Febri menerangkan, dokumen PPATK bersifat rahasia. Namun, KPK mengakui bahwa PPATK membantu lembaga antirasuah dalam penanganan perkara.
"Tidak spesifik hanya untuk kepala daerah atau pimpinan lembaga negara, tetapi seluruh kasus yang kita tangani. Karena kita kan sering minta bantuan PPATK. e-KTP juga kita minta bantuan PPATK," kata Febri.
Febri enggan menyebut nama inisial calon kepala daerah yang diindikasikan korupsi. Namun, ia mengakui sejumlah nama calon kepala daerah sudah ditindak lembaga antirasuah. Mantan aktivis ICW ini berdalih bahwa KPK tidak langsung menyatakan para tersangka pasti terlibat korupsi. Mereka tetap memegang prinsip hukum mengenai asas praduga tak bersalah. Oleh sebab itu, sangkaan dugaan korupsi yang calon kepala daerah harus dibuktikan lewat sistem peradilan yang ada.
"Kita perlu ingat kembali bahwa ini negara hukum, yang berlaku di kita adalah prinsip supremasi hukum. Jadi sepanjang memang ada bukti, ada koridor hukum yang tepat, maka tentu harus kita lakukan secara bertanggung jawab," kata Febri.
(sumber: tirto.id)