KOLOMBIA, 30 Oktober 2024 - Di tengah Segmen Tingkat Tinggi (High-Level Segment) perundingan global Konvensi Keanekaragaman Hayati ke-16 (COP16) di Cali, Kolombia, masyarakat sipil Indonesia menyerukan pentingnya perlindungan segera terhadap alam dan keanekaragaman hayati Indonesia yang semakin terancam oleh ekspansi tambang nikel.
Isu mengenai tambang mineral penting menjadi diskursus hangat dalam pertemuan COP16 CBD mengingat potensi ancamannya yang tinggi terhadap integritas ekosistem, keanekaragaman hayati, dan hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal di negara-negara produsen.
Saat ini terdapat hampir 1 juta hektare konsesi tambang nikel di Indonesia, yang 66% nya atau sekitar 0,64 juta hektarnya merupakan tutupan hutan alam. Besarnya luasan konsesi tambang nikel di Indonesia yang terus bertambah ini didorong oleh agenda transisi energi global untuk memasok komponen baterai kendaraan listrik, dengan tujuan ekspor utama ke Tiongkok.
Timer Manurung, Direktur Eksekutif Auriga Nusantara, mendesak Pemerintah Indonesia untuk membatasi produksi nikel karena dampak negatifnya terhadap keanekaragaman hayati mengingat deposit nikel di Indonesia yang mencapai luasan 3,1 juta hektare terkonsentrasi di wilayah Sulawesi, Maluku, dan Papua.
“Hampir 80% atau 2,5 juta hektare wilayah deposit nikel di Indonesia yang terkonsentrasi di wilayah Indonesia Timur merupakan wilayah yang kaya akan hutan dan keanekaragaman hayati, serta berada di dalam wilayah adat. Wilayah tersebut juga merupakan rumah bagi setidaknya 18 spesies ikonik, yang keberadaannya terancam akibat ekspansi tambang nikel. Untuk itu, penting bagi pemerintah Indonesia untuk menetapkan ‘No Go Zone’ di area-area yang memiliki peran penting pada keanekaragaman hayati dan penanggulangan perubahan iklim,” ujar Timer.
Data keanekaragaman fauna di wilayah deposit nikel Indonesia. Sumber: Auriga Nusantara
Timer juga menekankan pentingnya Pemerintah Indonesia untuk menetapkan kuota bagi ekspansi tambang nikel yang bisa dilakukan diluar No Go Zone untuk mencegah kerusakan ekosistem yang lebih buruk.
“Untuk daerah di luar ‘No Go Zone’ atau daerah yang tidak bisa ditambang lagi, perlu ada perhitungan berdasarkan ketersediaan nikel di Indonesia, kebutuhan akan nikel yang masuk akal, lama waktu yang dibutuhkan bagi Indonesia untuk melakukan ekspansi pertambangan nikel, dan potensi ancaman terhadap ekosistem dan biodiversitas yang akan terjadi dari ekspansi tambang nikel,” jelasnya.
Selain mengancam keanekaragaman hayati dan integritas ekosistem, pertambangan nikel juga mengancam kehidupan masyarakat adat.
"Di Morowali, masyarakat Taa (Wana) telah menggunakan berbagai jenis kayu, seperti kayu bitti (Vitex cofassus), damar (Agathis alba), dan kumea (Manilkara celebica) selama berabad-abad sebagai bagian dari kehidupan mereka. Namun, keberlanjutan sumber daya ini kini terancam oleh dampak tambang nikel yang masif," katanya.
"Pengolahan nikel menggunakan energi dari batubara juga berdampak negatif pada keragaman hayati pulau Kalimantan. Karenanya perlu pembatasan produksi nikel sesuai dengan daya dukung energi terbarukan agar target aksi iklim dan keragaman hayati dapat tercapai," ujar Pius, Koordinator Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER).
Forest Watch Indonesia juga menemukan bahwa industri nikel memiliki kaitan erat dengan penderitaan masyarakat adat, mulai dari dampak lingkungan seperti banjir hingga hilangnya akses masyarakat adat terhadap wilayahnya.
“Penambangan yang bertanggung jawab, mengikuti standarisasi yang sudah ada termasuk FPIC, merupakan bagian penting dari implementasi Kesepakatan Global Keanekaragaman Hayati (Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework/KM-GBF),” tutur Ogy Dwi Aulia dari Forest Watch Indonesia.
Salma Zakiyah, Program Officer Hutan dan Iklim dari Yayasan MADANI Berkelanjutan, menyatakan bahwa agenda transisi energi untuk mengatasi perubahan iklim global tidak boleh merusak ekosistem dan keanekaragaman hayati. Target 8 KM-GBF mencakup mandat untuk meminimalkan dampak aksi iklim terhadap keanekaragaman hayati.
"Oleh karenanya, Indonesia harus menyelaraskan kebijakan iklim dengan kebijakan perlindungan keanekaragaman hayati, termasuk harmonisasi Second Nationally Determined Contribution (Second NDC) dengan Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia (IBSAP)," katanya.
Ungkap Salma, seluruh kebijakan terkait iklim dan keanekaragaman hayati harus didasarkan pada prinsip keadilan iklim.
"Ini mencakup pengakuan dan perlindungan wilayah hidup kelompok rentan, pelibatan penuh dan efektif, perlindungan sosial, serta pemulihan hak-hak kelompok rentan ketika terjadi kerusakan, termasuk pemulihan hak dan wilayah hidup masyarakat adat dan lokal,” pungkas Salma.(ym)