BAGANSIAPIAPI - Upaya membongkar dugaan kebun bodong milik PT Gunung Mas Raya (GMR) Devisi IV Teluk Pulau, Rokan Hilir terus bergulir.
Tim 11 bentukan pemerintah desa dan utusan perwakilan masyarakat hingga kini terus membangun komunikasi dengan sejumlah pihak, termasuk dengan DPRD Rokan Hilir, yang segera menjadwalkan hearing.
Bagi tim 11, forum hearing menjadi sangat penting, karena sejauh ini, saluran komunikasi dengan pihak perusahaan dibatasi. Bahkan surat somasi yang sudah dilayangkan melalui tim advokasinya, tidak direspon.
Surat somasi yang dimaksud, mempertanyakan legalitas sekitar 625 hektar lahan kebun perusahaan yang diduga berada dalam kawasan Hutan Produksi Tetap (HPT).
Kebun-kebun tersebut melintasi empat Kepenghuluan di Kecamatan Rimba Melintang, Rokan Hilir, yaitu Kepenghuluan Teluk Pulau Hilir, Pematang Sikek, Teluk Pulau Hulu dan Lenggadai Hulu.
Kuat dugaan kebun tersebut berada dalam kawasan hutan, setelah adanya tugu patok yang dibangun oleh Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) di areal kebun tersebut.
Keberadaan tugu patok yang dimaksud dibenarkan oleh Penghulu Desa Pematang Sikek, Suryadi. "Ada sekitar 300 hektare keberadaan tugu patok tersebut berada dalam perkebunan perusahaan GMR," ujarnya beberapa waktu lalu.
Suryadi juga mengaku sempat mempertanyakan makna dari keberadaan tugu patok tersebut langsung kepada petugas yang mematok di lapangan saat itu.
"Kata mereka areal patok ini menjadi batas kawasan hutan dengan penggunaan areal lain," tambahnya.
Petugas BPKH, Syafruddin yang dihubungi terpisah juga membenarkan keberadaan tugu patok tersebut. Pihaknya memang telah melakukan tata batas kawasan hutan dengan areal penggunaan lain, yang ditandai dengan pemasangan tugu patok yang dimaksud.
"Jika batas luar, berarti sebelahnya kawasan hutan, dan sebelahnya APL (areal penggunaan lain)," ujar Syafruddin.
Menanggapi hal tersebut, Tri Martono, salah seorang menejer di lingkungan PT GMR yang ingin dikonfirmasi, tidak bisa memberi penjelasan lebih lanjut.
"Kami adalah manager lapangan/agronomi. Kita di operasional. Mohon jika ada konfirmasi yang perlu, ke kantor perwakilan Jalan Riau Ujung No 5A
Pekanbaru," sarannya.
Sementara terkait persiapan hearing, Ketua Komisi A DPRD Rokan Hilir, Rally Anugrah Harahap menyatakan bahwa surat permohonan dari tim 11 sudah mendapat disposisi.
"Surat sudah di disposisi. Namun terkait jadwal hearingnya masih menunggu arahan pimpinan DPRD, karena saat ini masih ada jadwal pansus pembahasan perda," ujarnya.
Tim 11 melalui juru bicaranya, Rais, SEI, MM memang terus mendesak DPRD Rohil segera menggelar hearing. Sebab lewat hearing dengan menghadirkan sejumlah pihak, termasuk pihak perusahaan, dialog bisa dilakukan secara terbuka.
"Patok tugu yang sudah dibuat BPKH. Itu sudah menjadi bukti bahwa kebun GMR tersebut berada dalam kawasan hutan. Untuk itu kita ingin mengetahui sikap pemerintah melalui forum hearing nanti," ujarnya.
Dalam perjuangan ini, sambung Rais, selain proses hukum sesuai ketentuan hukum berlaku, pihaknya juga berharap lahan-lahan tersebut bisa diserahkan kepada masyarakat untuk dikelola secara mandiri.
"Bagaimana mekanismenya kelak, kita akan ikuti sesuai mekanisme dan ketentuan berlaku," katanya.
Rais juga menyebutkan, keberadaan masyarakat di 2 kepenghuluan, Pematang Sikek dan Teluk Pulau Hilir saat ini juga semakin hari semakin mengkhawatirkan dengan terus tergerusnya oleh abrasi sungai Rokan.
Bahkan rumah suluk dan makam Tuan Syeih Toha sudah dipindahkan akibat abrasi yang terjadi.
"Lahan terbentang luas di area GMR yang izinnya sampai saat ini tak jelas, bisa menjadi alternatif pemukiman baru untuk masyarakat yang terdampak abrasi," ujarnya.
Sebagaimana diketahui, dugaan kejahatan korporasi kehutanan yang melibatkan GMR ini, identik dengan kasus serupa yang melibatkan PT Duta Palma, di Indragiri Hulu, yaitu alih fungsi hutan secara ilegal.
Bedanya, kasus Duta Palma sudah ditetapkan dua orang tersangka, Bos PT Duta Palma, Surya Darmadi dan mantan Bupati Indragiri Hulu, Raja Thamsir Rahman oleh Kejagung RI. Sementara yang GMR, belum tersentuh hukum. (*)