WI Serukan Penghentian Pemanfaatan Lahan Gambut Berbasis Drainase

Redaksi Redaksi
WI Serukan Penghentian Pemanfaatan Lahan Gambut Berbasis Drainase
doc.jmgr
Pemanfaatan Gambut Sistem Kanalisasi oleh PT RAPP di Pulau Padang, Kabupaten Kepulauan Meranti, provinsi Riau.
JAKARTA, riaueditor.com - Pada 2015 lalu Indonesia kembali dihantam bencana kabut asap akibat kebakaran lahan gambut yang luas di Sumatra dan Kalimantan. Untuk menghadapinya, Pemerintah Indonesia membentuk Badan Restorasi lahan Gambut nasional (BRG) dengan target ambisius untuk merestorasi lebih dari 2 juta hektar lahan gambut pada 2020.

Kesuksesan ini akan bergantung pada pemahaman yang tepat terhadap karakteristik ekosistem lahan gambut yang sangat unik dan ringkih tersebut. Sebuah policy brief yang baru diterbitkan oleh Wetlands International dan Tropenbos International menyerukan pendekatan berbasis ilmiah menyeluruh, sebagai pendukung perubahan sejumlah kebijakan dan model pengelolaan yang selama ini telah diterapkan secara luas namun kurang mempertimbangkan isu subsiden gambut secara memadai.

Sementara Pemerintah Indonesia saat ini mengambil langkah berani merestorasi lahan gambut berskala besar untuk mencegah kebakaran, termasuk membasahi kembali (rewetting) kawasan lahan gambut prioritas, beberapa pemain utama di industri pulp kertas dan perkebunan lainnya justru mengklaim bahwa lahan gambut dapat dikeringkan (drainase) untuk berkontribusi terhadap pembangunan perekonomian Indonesia yang berkelanjutan.

Namun, kajian kebijakan (policy brief) yang dipublikasikan hari ini oleh Wetlands International dan Tropenbos International menyatakan sebaliknya. Policy brief ini menyerukan penghentian segera dan bertahap atas pemanfaatan lahan gambut berbasis drainase di Indonesia, dan sebaliknya segera mengembangkan alternatif pemanfaatan lahan, dengan mengairi (membasahi) kembali lahan gambut.

Makalah yang dipublikasikan hari ini berpendapat, pendekatan “eko-hidro” tidak berhasil memitigasi efek samping drainase. Pendapat ini didasarkan pada kajian terhadap studi-studi mengenai lahan gambut di Indonesia, dan di berbagai belahan bumi lainnya.

Kajian oleh Deltares, satu dekade lalu, tentang Kampar Peninsula Science Based Management Support Project, telah menunjukkan dampak negatif jangka panjang yang tidak terelakkan terhadap pengeringan lahan gambut. Temuan tersebut menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan antara laju subsiden pada “bisnis seperti biasa” dan dengan pendekatan “eko-hidro”.

Studi-studi ilmiah terbaru, termasuk sebuah studi yang didukung oleh Wetlands International pada 2015 untuk Semenanjung Kampar menunjukkan, bahkan dengan laju subsiden menengah sebesar 3,5 cm per tahun. Semenanjung Kampar dalam hitungan dekade akan menghadapi masalah banjir yang luas dan berkepanjangan.(rls/har)

Tag:
Berita Terkait
Segala tindak tanduk yang mengatasnamakan wartawan/jurnalis tanpa menunjukkan tanda pengenal/Kartu Pers riaueditor.com tidak menjadi tanggungjawab Media Online riaueditor.com Hubungi kami: riaueditor@gmail.com
Komentar
Berita Terkini