Waspada, Perang Dagang AS-China Bakal Kembali Bergelora!

Redaksi Redaksi
Waspada, Perang Dagang AS-China Bakal Kembali Bergelora!
(CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia

JAKARTA - Pekan lalu menjadi momentum yang sepertinya ingin cepat dilupakan oleh investor di pasar keuangan Indonesia. Maklum saja karena Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), nilai tukar rupiah, sampai pasar obligasi pemerintah semuanya melemah. 

Sepanjang pekan lalu, IHSG anjlok 1,28% secara point-to-point. Indeks saham utama Asia juga berguguran, tetapi pelemahan IHSG menjadi yang terdalam. 

Sementara dalam periode yang sama, rupiah melemah 0,49% terhadap dolar AS di perdagangan pasar spot. Rupiah senasib dengan mata uang utama Benua Kuning yang juga tidak bisa berbicara banyak di hadapan greenback.

Kemudian imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun naik 9,4 basis poin (bps). Kenaikan yield adalah pertanda harga instrumen ini sedang turun karena maraknya aksi jual.

Faktor eksternal dan domestik memang kurang kondusif bagi pasar keuangan Indonesia. Dari sisi eksternal, sentimen utama yang menjadi penghantam adalah hasil rapat komite pengambil kebijakan The Federal Reserve/The Fed (Federal Open Market Committee/FOMC). 

Jerome 'Jay' Powell dan kolega memang mempertahankan suku bunga acuan di 2,25-2,5% seperti yang sudah diperkirakan pasar. Namun pernyataan yang menyertai keputusan tersebut yang di luar dugaan. 

Namun yang terjadi justru sebaliknya. The Fed malah begitu tegas menyatakan bahwa kebijakan suku bunga saat ini sudah tepat, dan jangan diartikan The Fed membuka peluang untuk mengubahnya. 

Sentimen ini menjadi suntikan adrenalin bagi dolar AS. Belum adanya penurunan suku bunga acuan, setidaknya dalam waktu dekat, masih akan membuat berinvestasi di dolar AS cukup menguntungkan. 

Dari dalam negeri, rilis data inflasi malah menjadi pemberat langkah IHSG dkk. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan inflasi April sebesar 0,44% month-on-month (MoM) dan 2,83% year-on-year (YoY). Di atas konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia yaitu 0,3% MoM dan 2,665% YoY.

Data ini menunjukkan tekanan inflasi membesar, dan belum masuk masa Ramadan. April saja inflasi sudah terakselerasi, bagaimana Mei yang sudah masuk Ramadan? 

Jika inflasi terlalu tinggi, maka ada kekhawatiran akan memperlambat daya beli dan konsumsi rumah tangga. Akibatnya prospek pertumbuhan ekonomi kuartal II-2019 menjadi penuh tanda tanya, dan itu membuat investor kurang nyaman. 

"Kami merasa stance kebijakan kami masih layak dipertahankan saat ini. Kami tidak melihat ada tanda-tanda yang kuat untuk menuju ke arah sebaliknya. Saya melihat kita dalam jalur yang benar. 

"Pasar tenaga kerja tetap kuat. Ekonomi juga tumbuh solid. Apa yang kami putuskan hari ini sebaiknya tidak dibaca sebagai sinyal perubahan kebijakan pada masa mendatang," tegas Powell dalam konferensi pers usai rapat, mengutip Reuters. 

Komentar yang jauh dari kesan dovish ini benar-benar di tidak terbayangkan sebelumnya. Pelaku pasar awalnya menduga The Fed kembali melontarkan pernyataan bernada kalem, bahkan mengarah ke penurunan suku bunga acuan. 

Namun yang terjadi justru sebaliknya. The Fed malah begitu tegas menyatakan bahwa kebijakan suku bunga saat ini sudah tepat, dan jangan diartikan The Fed membuka peluang untuk mengubahnya. 

Sentimen ini menjadi suntikan adrenalin bagi dolar AS. Belum adanya penurunan suku bunga acuan, setidaknya dalam waktu dekat, masih akan membuat berinvestasi di dolar AS cukup menguntungkan. 

Dari dalam negeri, rilis data inflasi malah menjadi pemberat langkah IHSG dkk. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan inflasi April sebesar 0,44% month-on-month (MoM) dan 2,83% year-on-year (YoY). Di atas konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia yaitu 0,3% MoM dan 2,665% YoY.

Data ini menunjukkan tekanan inflasi membesar, dan belum masuk masa Ramadan. April saja inflasi sudah terakselerasi, bagaimana Mei yang sudah masuk Ramadan? 

Jika inflasi terlalu tinggi, maka ada kekhawatiran akan memperlambat daya beli dan konsumsi rumah tangga. Akibatnya prospek pertumbuhan ekonomi kuartal II-2019 menjadi penuh tanda tanya, dan itu membuat investor kurang nyaman. 

Data Tenaga Kerja Angkat Wall Street

Dari Wall Street, tiga indeks utama membukukan penguatan signifikan pada perdagangan akhir pekan lalu. Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 0,75%, S&P 500 menguat 0,96%, dan Nasdaq Composite melejit 1,6%. 

Sentimen yang membuat investor di bursa saham New York bersemangat adalah data ketenagakerjaan Negeri Paman Sam yang sangat memuaskan. Pada April, perekonomian AS menciptakan 263.000 lapangan kerja. Jauh lebih tinggi ketimbang konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu 185.000. 

Sedangkan angka pengangguran turun menjadi 3,6% dari 3,8% pada bulan sebelumnya. Angka pengangguran April menjadi yang terendah sejak Desember 1969. 

"Lapangan kerja, lapangan kerja, lapangan kerja!" demikian cuitan Presiden AS Donald Trump di Twitter. Kondisi ketenagakerjaan AS yang terus membaik merupakan modal besar yang bisa membawa Trump terpilih kembali dalam pilpres tahun depan.

Sementara di sisi lain, tekanan inflasi di Negeri Adidaya sepertinya masih rendah. Ini terlihat dari kenaikan gaji yang pada April hanya bertambah 0,2%, sama seperti bulan sebelumnya. Secara tahunan, kenaikan gaji hanya sebesar 3,2%. 

"Kita terus mengalami perkembangan yang bagus di pasar tenaga kerja, diiringi dengan inflasi yang rendah. Sebenarnya aneh, tetapi ini positif bagi perusahaan karena ke depan laba akan terus tumbuh. Selain itu, situasi seperti ini juga menjadi sinyal bahwa The Fed tidak akan menaikkan suku bunga acuan," jelas Jamie Cox, Managing Partner di Harris Financial Group yang berbasis di Virginia, mengutip Reuters. 

Meski menguat lumayan tajam, tetapi secara mingguan DJIA tetap terkoreksi 0,2%. Sedangkan S&P 500 dan Nasdaq mampu menguat 0,2%.

Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini (1)

Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama adalah dinamika di Wall Street yang lumayan positif. Semoga ini bisa menjadi penyemangat bagi investor di pasar keuangan Asia. 

Sentimen kedua, investor patut waspada dengan perkembangan perundingan dagang AS-China. Meski dialog di Washington pekan lalu menelurkan hasil positif, tetapi Trump ternyata tetap akan menaikkan bea masuk untuk importasi produk-produk China senilai US$ 200 juta. 

"Selama 10 bulan terakhir, China membayar bea masuk 25% untuk importasi produk-produk high-tech senilai US$ 50 miliar dan 10% untuk produk-produk lain senilai US$ 200 juta. Pembayaran ini sedikit banyak berperan dalam data-data ekonomi kita yang bagus. Jadi yang 10% akan naik menjadi 25% pada Jumat. Sementara US$ 325 miliar importasi produk-produk China belum kena bea masuk, tetapi dalam waktu dekat akan dikenakan 25%. Bea masuk ini berdampak kecil terhadap harga produk. Dialog dagang tetap berlanjut, tetapi terlalu lamban, karena mereka berupaya melakukan renegosiasi. Tidak!" cuit Trump di Twitter.

Wow. Ketika banyak yang mengira hubungan AS-China semakin erat dan damai dagang kian dekat, pernyataan Trump ini berpotensi membuat pasar terkaget-kaget.

Mari berharap bahwa pernyataan Trump ini sekadar gertakan untuk mempercepat proses negosiasi menuju damai dagang. Atau gertakan agar China tidak meminta konsesi yang aneh-aneh. Semoga saja cuma gertakan. 

Sebab apabila Trump jadi mengeksekusi kenaikan bea masuk, maka kemungkinan besar China akan membalas dengan kebijakan yang sama. Damai dagang? Apa itu damai dagang? Yang ada malah perang dagang kembali berkecamuk dan mungkin dengan skala yang lebih besar. 

"Bapak Presiden, saya rasa, hanya melontarkan peringatan. Anda tahu kami juga pernah menunda kenaikan bea masuk dari 10% menjadi 25% karena hasil dialog dagang yang positif. Namun memang itu tidak bisa bertahan selamanya, apalagi kalau negosiasi dagang tidak berjalan baik," tutur Lawrence 'Larry' Kudlow, Penasihat Ekonomi Gedung Putih, dikutip dari Reuters. 

Sepertinya sentimen ini berpeluang menjadi 'bintang utama' di pasar keuangan Asia. Ancaman perang dagang AS-China sangat mungkin membuat investor ogah mengambil risiko, memilih cari aman. Jika ini terjadi, maka IHSG dkk akan kembali terancam. 

(cnbcindonesia.com)


Tag:
Berita Terkait
Segala tindak tanduk yang mengatasnamakan wartawan/jurnalis tanpa menunjukkan tanda pengenal/Kartu Pers riaueditor.com tidak menjadi tanggungjawab Media Online riaueditor.com Hubungi kami: riaueditor@gmail.com
Komentar
Berita Terkini