Petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KKPS) menghitung surat suara Pemilu 2019. (CNN Indonesia/Hesti Rika)Selain itu, kata Abbas, pilkada melalui DPRD bakal menutup peluang masyarakat yang memiliki kapabilitas, integritas, serta akseptabilitas untuk menjadi kepala daerah. Pasalnya, penentuan calon kepala daerah ada di tangan partai atau anggota DPRD itu sendiri.
"Orang bebas, yang tidak berpartai, tidak mungkin. Apalagi yang enggak punya duit, untuk menyelesaikan, untuk beli suara, beli dukungan anggota dewan, kesempatan itu akan hilang kalau dipilih DPRD," tuturnya.
Demokrasi Tak Transparan
Peneliti Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo Jati mengatakan mekanisme pilkada lewat DPRD membuat proses demokrasi menjadi tak transparan. Pemilihan tertutup ini membuat kepala daerah tak memiliki legitimasi karena bertanggung jawab pada DPRD bukan rakyat.
"Itu justru menciptakan proses demokrasi yang tidak transparan karena publik tak tahu latar belakang figur," kata Wasisto kepada CNNIndonesia.com.
Wasisto menyatakan politik uang menjadi keniscayaan dalam politik praktis Indonesia saat ini. Namun, mengembalikan mekanisme pemilihan ke DPRD tak akan menghapus 'money politic'. Pada akhirnya sama saja calon kepala daerah perlu mengeluarkan uang lebih.
"Mekanisme pemilihan tertutup hanya mengurangi distribusi uang politik itu lebih luas. Hanya terjadi di dalam parlemen saja," tuturnya.
Wasisto mendorong evaluasi proses pendaftaran dan penetapan calon kepala daerah di tingkat partai politik maupun Komisi Pemilihan Umum (KPU). Menurutnya, pelibatan KPK dalam proses tersebut penting untuk memastikan proses kandidasi bersih dan transparan.
"Selama ini proses meski berjalan normal di luar tapi banyak proses tawar menawar politik antara kandidat dan kepala daerah," ujarnya.
Sementara Abbas meminta para calon kepala daerah dan partai politik instropeksi diri masing-masing. Khusus partai politik, Abbas menyatakan agar memilih calon-calon yang minimal memilik kapabilitas, integritas, dan akseptabilitas.
"Kalau orang baik, tokoh berkualitas maju, hampir dipastikan biaya politik tidak begitu besar, integritas baik dia batasi diri untuk tidak melanggar," kata Abbas.
(analisis cnnindonesia.com)