“Kami ini dirampok. Ayah kami sudah membelikan nenek rumah di Pekanbaru dua petak, sekarang satu petak ditempati anak paman dan satu digadaikannya. Ayah juga sudah membelikan nenek sawah di kampong. Nenek juga sudah meninggal. Tapi paman dan anak-anaknya sepertinya tidak rela kami sebagai anak kandung mendapat warisan ayah dan ibu kami. Ini harta jerih payah ayah dan ibu kami semasa hidup berumah tangga, bukan warisan keluarga ayah,” tandas Fatimah Ali sambil berurai air mata.
PEKANBARU – Salmah Ali (54) berurai air mata setelah menyimak keputusan Pengadilan Agama (PA) Pekanbaru yang menyidangkan dan memenangkan adik ayahnya Rusli (paman), adik kandung ayahnya yang menggugat harta warisan ayah Fatimah, sejak ayahnya meninggal dunia pada tahun 2008 lalu.
Harta warisan tersebut merupakan harta jerih payah ayah dan ibu Salmah semasa hidup berumah tangga. Tapi, semua keterangan Salmah ditanggapi dingin PA Pekanbaru dan “memaksa” menyerahkan harta warisan orangtuanya kepada pamannya itu. Sampai kapan pun Salmah bertekad akan mempertahankan warisan orangtuanya tersebut.
Diceritakan Salmah Ali, kepada awak media kemarin, kisah ini berawal ketika ayahnya mulai jatuh sakit pada tahun 2008 silam hingga meninggal dunia tahun itu juga.
Pasca ayahnya meninggal dunia, pamannya atau adik ayahnya yang bernama Rusli dan adik-adiknya yang lain mengajukan gugatan ke PA Pekanbaru dengan berbekal Surat An Nisa ayah 11 dalam Alquran. Dalam surat itu dijelaskan pembagian warisan bagi anak-anak kandung dan ibu kandung serta istri. Secara jelas dijelaskan dalam surat itu, dan juga sebab akibat warisan dan pewaris.
Menyangkut warisan H Amir Ali yang digugat adik kandung, Rusli adalah harta pencarian ayah dan ibu Salmah semasa pernikahan, bukan harta yang dibawa dari kampong halaman, atau pusaka keluarga ayahnya. Dan Rusli menggugat melalui PA Pekanbaru, bukan perdata di Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru.
“Paman saya menggugat harta warisan kami dari ayah dan ibu kami, bukan perdata di PN Pekanbaru tapi perdata di PA Pekanbaru. Dan mereka tidak mencantumkan dokumen kepemilikan sah menurut UU di negera kita ini, melainkan menggunakan Surat Annisa ayat 11. Dan lucunya, hakim di PA Pekanbaru memenangkan paman saya dan memaksa saya untuk menyerahkan harta warisan dari ayah saya itu. Sampai hari ini, saya belum bersedia, karena ini pencarian ayah dan ibu saya,” ungkap Fatimah di rumahnya.
Ayah Belikan Nenek Rumah dan Sawah di Kampung
Dijelaskan Salmah, alasan pamannya menggugat karena ada hak nenek, ibu dari ayahnya, menurut agama. Padahal penjabaran dari Surat Annisa 11 itu ibu akan mendapat 1/6 dari keseluruhan harta warisan jika yang meninggal memiliki anak dan setelah dilunasi semua wasiat dan hutang piutangnya.

“Ayah saya sudah membelikan nenek rumah dan sawah di kampong dan di Pekanbaru. Secara agama, ayah saya sudah memenuhi warisan nenek. Yang tinggal hanya warisan kami adik beradik sebagai anak kandung ayah dan ibu,” ungkap Salmah yang didampingi adiknya Yulia Ali, sambil menunjukkan foto-foto rumah dan sawah yang sudah dibelikan ayahnya untuk sang nenek.
Ditambahkannya, saat ini salah satu dari harta benda itu digadaikan keluarga ayahnya. Dan salah satu rumah yang di Pekanbaru juga ditunggui anak dari Rusli, pamannya yang menggugat warisan itu.
Sementara rumah, ruko dan beberapa toko yang dimiliki orang tuanya sudah dibuat waris kepada masing-masing mereka kakak beradik. Dan itu sebagai anak kandung, mereka merasa pamannya ini seperti lintah, sudah diberi, masih meminta lagi. Bahkan sampai pamannya ini meninggal, sekarang anak pamannya yang meneruskan gugatan terhadap mereka.
Namun yang paling mengherankan Salmah Ali dan adik kakaknya adalah, dasar gugatan pamannya ke PA Pekanbaru dikabulkan dan tidak mengindahkan UU yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bahkan hakim yang menyidangkan perkara ini tidak menggubris alasan Salmah Ali bersaudara bertahan karena mereka sudah mendapat amanah warisan dari orangtuanya yang merupakan pemilik harta warisan yang diperdebatkan dan ingin dirampok keluarga ayahnya.
“Kami ini dirampok. Ayah kami sudah membelikan nenek rumah di Pekanbaru dua petak, sekarang satu petak ditempati anak paman dan satu digadaikannya. Ayah juga sudah membelikan nenek sawah di kampong. Nenek juga sudah meninggal. Tapi paman dan anak-anaknya sepertinya tidak rela kami sebagai anak kandung mendapat warisan ayah dan ibu kami. Ini harga pencarian ayah dan ibu, bukan warisan keluarga ayah,” tutup Fatimah Ali sambil berurai air mata.
“Sampai kapanpun saya akan mempertahankan warisan ayah ini, karena saya diamanahkan ayah menjaga harta peninggalan beliau. Hak saya beradik kakak berenam orang ini,” ungkapnya kukuh.**