Evaluasi FIP II, Komite Konsultatif KPH Gelar Pertemuan Dengan KPH se Riau

Redaksi Redaksi
Evaluasi FIP II, Komite Konsultatif KPH Gelar Pertemuan Dengan KPH se Riau
riaueditor.com/har

PEKANBARU, riaueditor.com - Difasilitasi KPHP Tasik Besar Serkap (TBS) Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan provinsi Riau, Komite Konsultatif KPH menggelar pertemuan bersama Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) se Riau, di Resty Menara Hotel, Pekanbaru, Kamis (24/2/2022).

Pertemuan yang didanai hibah Bank Dunia ini dalam rangka membahas hasil monitoring dan evaluasi projeck Forest Invesment Program (FIP) II yang diselaraskan dengan Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang (RPHJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Pendek (RPJPd) berkelanjutan dengan partisipasi masyarakat.

Menurut Agustian yang merupakan Sporting Unit untuk KPH TBS, KPH yang diatur dengan RPHJP/RPHJPd berkelanjutan disusun dengan pertisipasi masyarakat salah satu indikator keberhasilan project FIP II.

"Jadi ada revisi RPHJP dan ada review RPJPd yang menjadi indikator, dan untuk KPH TBS itu sudah selesai dilakukan, dan untuk KPH yang lain ini harus menjadi target," ujar Agustian.

Dalam laporannya Agustian menjelaskan beberapa SOP utama disusun dan diajukan untuk direview oleh Kementerian bersangkutan, salah satunya SOP Resolusi Konflik yang menjadi tolak ukur atau indikator dalam pencapaian Project Development Objective (PDO).

"Pada 2019 kita sudah membuat model strategi mediasi konflik dan SOP Resolusi Konflik, dan ini menjadi indikator juga di FIP II, dan TBS sudah melakukan itu dan sudah selesai," kata Agustian.

Kemudian lanjutnya, tolak ukur yang lain adalah peningkatan mata pencaharian berbasis hutan yang sasarannya adalah kelompok tani hutan (KTH) di tingkat tapak, dalam hal ini tolak ukurnya adalah pencapaian partisipasi masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung.

"Nah Pusat memprediksi capaian itu pada 2022 tidak akan tercapai, apalagi KPH TBS, yang hanya memiliki 5 KTH dari 10 kelompok yang ditargetkan di setiap KPH, maka dilakukan reevaluasi," katanya.

Paparnya lagi, tolak ukur lainnya yang dihitung adalah penerima manfaat projeck langsung, ini yang dinilai bank dunia setiap semesternya, apakah itu tercapai atau tidak tercapai.

"Kita sudah lakukan survey awal dan survey lanjutan sejauh mana tingkat kepuasan masyarakat terhadap KPH dalam program ini, dan rata-rata hasilnya antara 80-85 persen," tandasnya.

Kemudian penerima manfaat perempuan yang diukur dari presentasinya. "Untuk penerima manfaat perempuan ini memang jauh dari target, karena jumlah perempuannya sangat minim, ditambah kita tidak punya kegiatan yang khusus menghadirkan kaum perempuan," imbuhnya.

Tolak ukur lainnya yang berkaitan dengan masyarakat adat atau suku minoritas. "Untuk program yang satu ini di TBS memang tidak ada, dan tentunya tidak menjadi tolak ukur," tuturnya.

Indikator utama keberhasilan pengelolaan hutan berbasis KPH juga diukur dari menurunnya laju deforestasi dan degradasi hutan serta menurunya atau selesainya gangguan atau konflik tenurial di kawasan hutan.

"Kita sebelumnya juga melakukan monitoring guna mengetahui implementasi REDD di tingkat tapak, dan juga yang akan kita lakukan di tahun ini. REDD ini mutlak karena TBS akan dijadikan sample pilot projeck," terang Agustian.

Dalam pertemuan tersebut Komite juga mengedepankan pemateri dari KPH Mandah dan KPH Indragiri untuk memaparkan pengelolaan potensi sumberdaya hutan dan pengembangan kelembagaan berbasis masyarakat yang berkelanjutan di wilayah kerjanya.

Kepala KPH Mandah Joko Yuni Purwanto, S.Hut dalam paparannya menyampaikan program budidaya hutan mangrove oleh KTH yang ada di wilayahnya dalam rangka mengatasi intrusi air laut. Demikian pula budidaya Kepiting Bakau yang saat ini punya nilai ekspor untuk seterusnya dibudidayakan oleh KTH dan nelayan yang ada di wilayahnya.

"Saat ini ada yang namanya Blue Forest dari Makassar dan Yayasan Pesisir Lestari dari Bali bersama Yayasan Mitra Insani dari Pekanbaru melakukan kerjasama kolaboratif mengerjakan proyek mangrove dan kepiting sudah berjalan memasuki tahun kedua, semoga ada manfaat yang diperoleh dari sini," katanya.

Dikatakan Joko pemanfaatan kayu bakau oleh masyarakat di wilayahnya adalah untuk kayu cerocok bangunan, namun kendalanya tidak bisa dipungut PNBP nya lantaran tidak ada regulasi yang mengatur hal itu.

"Untuk pemanfaatan kayu bakau ini selain menebang sebaiknya juga harus menanam, untuk itu kami mohonkan petunjuk skema perizinannya agar hutan bakau ini tetap lestari, demikian juga dengan konsep budidaya kepiting," ujar Joko.

Kepala UPT-KPH Tasik Besar Serkap (TBS), Andri, SHut menjelaskan, terdapat 3 KTH dari 5 KTH yang ada diwilayahnya yang sudah menunjukkan keberhasilan dalam mengembangkan usahanya terutama madu kelulut, sementara dua KTH lagi masih berjalan mengembangkan budidaya tanaman kopi dan pinang yang sifatnya jangka panjang.

Bicara perambahan hutan di wilayah KPH TBS, Andri mengaku sudah tidak ada lagi. "Khusus TBS sudah kita upayakan hingga Nol, walau awalnya sulit, dan kedepan TBS juga akan menjadi pilot projeck masalah karbon, ini dapat dilihat dari tutupan lahan hutan kita yang terus bertambah," ucap Andri.

Bicara menghalau para perambah dari kawasan hutan Andri terkadang mengaku bersebelahan dengan NGO yang katanya disibukan dengan program Perhutanan Sosial (PS).

"Kitakan bersusah payah mengeluarkan masyarakat dari dalam kawasan hutan, kita bantu dengan berbagai program, sebaliknya NGO mengarahkan masyarakat ke dalam kawasan, yang pada akhirnya memberi akses merusak hutan, karena mereka merasa memiliki dengan adanya SK PS tersebut," tukas Andri.

Harapan FIP II

Sebagai pihak penyelenggara, Kepala UPT-KPH Tasik Besar Serkap (TBS), Andri, SHut berharap kepada 13 KPH yang ada di Riau dapat menjalankan kegiatannya mengacu kepada yang telah dirumuskan pada FIP II sehingga ke depan bisa menggali potensi yang ada di wilayah masing-masing.

Sementara Ketua Komite Konsultatif KPH se Provinsi Riau yang juga Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Lancang Kuning, Ir Emmy Sadjati MSi mengatakan, sebagai fasilisator berpendapat KPH bisa membentuk unit-unit koperasi yang bisa melaksanakan bisnis yang dikaitkan dengan Koperasi yang dimiliki KPH tersebut.

"Keuntungan Koperasi menurut saya sudah sesuai dengan Undang-undang Koperasi, dan bisa dilakukan secara transparan," katanya.

Dari KPH yang ada Emmy menilai KPH yang paling sedikit untuk diperbaiki infrastrukturnya mungkin adalah KPH Mandah yang hanya diperlukan pendampingan kelembagaan dan pendampingan organisasi pemasaran.

Sedangkan KPH Indragiri yang diperlukan selain dari sarana dan prasarana adalah membantu perizinan dalam bentuk HKm yang sifatnya adalah ekowisata dan jasa lingkungan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan.

Dijelaskan Emmy tugas dan fungsi komite konsultatif yakni turut menyusun usulan review kebijakan manajemen pelaksanaan kegiatan projeck FIP II di Riau, serta melakukan pemantauan evaluasi pelaksanaan kegiatan dan membuat rekomendasi kepada pengelola kegiatan terkait dengan perencanaan dan pelaksanaan kegiatan.

Emmy menambahkan bahwa pengembangan pengelolaan KPH di Provinsi Riau diantaranya peningkatan SDM KPH secara kualitas, kompeten dan kuantitas, menselaraskan RPHJP dengan RPJMD, Penggunaan dana DBH bagi KPH, Penerapan BLUD di KPH serta Peningkatan skema kerja sama kemitraan dengan pihak lain dan masyarakat," pungkasnya.(har)


Tag:
Berita Terkait
Segala tindak tanduk yang mengatasnamakan wartawan/jurnalis tanpa menunjukkan tanda pengenal/Kartu Pers riaueditor.com tidak menjadi tanggungjawab Media Online riaueditor.com Hubungi kami: riaueditor@gmail.com
Komentar
Berita Terkini