Pembangunan vs Deforestasi

Redaksi Redaksi
Pembangunan vs Deforestasi
Konsesi PT Prabu Alaska di Kabupaten Kaimana, Papua Barat, April 2021. (Forest Watch Indonesia)

MENTERI Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar menulis di Twitter “pembangunan besar-besaran di era Presiden Jokowi tak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau dan atas nama deforestasi” memantik polemik. Tak hanya terdengar seperti pernyataan Menteri Pekerjaan Umum, tulisan Menteri Siti juga disampaikan sehari setelah Presiden Joko Widodo menandatangani Deklarasi Glasgow menghentikan deforestasi.

Deforestasi menjadi biang pemanasan global, selain produksi emisi dari energi fosil. Emisi energi fosil adalah buah dari investasi ekstraktif yang memakan lahan, mengokupasi hutan, sehingga mengurangi penyerapan karbon yang dilepaskannya. Maka pernyataan Siti Nurbaya menunjukkan rendahnya komitmen pemerintah Indonesia, yang masuk 10 produsen emisi terbesar, dalam turut serta mencegah kenaikan suhu bumi mencapai puncak krisis iklim.

Pernyataan itu juga ironis karena Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) saja sudah memiliki program jangka panjang yang disebut “Pembangunan Rendah Karbon 2020-2024”. Jika pembangunan akan digenjot dengan mengabaikan perlindungan lingkungan, pemerintahan Jokowi melanggar program-programnya sendiri.

Meski begitu, pernyataan Menteri Siti bisa dimaklumi jika kita lihat apa yang dikerjakan pemerintahan Jokowi. Undang-Undang Cipta Kerja, UU Mineral dan Batu Bara, pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi, adalah kebijakan-kebijakan yang akan mendorong eksploitasi lingkungan lebih masif atas nama pembangunan dengan kontrol yang lemah.

Pernyataan Menteri Siti juga bertolak belakang dengan klaim Presiden Jokowi di COP26 yang menyatakan Indonesia mencapai deforestasi terendah dalam 20 tahun terakhir, sementara perhitungan dan pemantauan lembaga-lembaga independen menyatakan sebaliknya.

Dalam proposal penurunan emisi atau NDC, Indonesia mengajukan dua jenis deforestasi: legal dan ilegal. Dengan penegakkan hukum, pemerintah Indonesia hendak menurunkan deforestasi ilegal. Masalahnya, dalam deforestasi legal (memakai izin melalui investasi) sekalipun, perusakan hutan memiliki sejumlah masalah yang sama destruktifnya dengan pembalakan ilegal.

Tempo mereportasekan pembalakan legal di Papua—pulau yang menjadi incaran investasi setelah hutan di belahan Indonesia lain telah rusak. Kami menemukan berbagai pelanggaran terhadap prinsip-prinsip manajemen hutan lestari hingga pelanggaran pajak. Kami menyajikannya dalam lima artikel:

Bagaimana perusahaan kayu di Papua menaikkan deforestasi?

Mengapa SVLK, yang dipromosikan pemerintah di COP26 sebagai sistem kuat mencegah kayu ilegal, tak bisa mendeteksi pelanggaran di Papua?

Bagaimana perusahaan kayu memicu konflik masyarakat adat?

Aliran kayu bermasalah Papua hingga ke luar negeri.

Editorial apa yang seharusnya dilakukan pemerintah mencegah kerusakan deforestasi legal.

Liputan mendalam ini terbit atas dukungan Rainforest Investigations Network Pulitzer Center dan bekerja sama dengan sejumlah lembaga swadaya masyarakat pemantau hutan.

Bagja Hidayat

Redaktur Eksekutif Majalah Tempo


Tag:
Berita Terkait
Segala tindak tanduk yang mengatasnamakan wartawan/jurnalis tanpa menunjukkan tanda pengenal/Kartu Pers riaueditor.com tidak menjadi tanggungjawab Media Online riaueditor.com Hubungi kami: riaueditor@gmail.com
Komentar
Berita Terkini