Oleh: Prof. Dr. Budiharjo, M.Si
Kurikulum Merdeka lahir ketika Indonesia dilanda pandemi Covid-19 dan mengharuskan seluruh siswa belajar dari rumah. Pembatasan aktivitas sosial melahirkan anggapan bahwa penyelenggaraan pendidikan tidak harus berorientasi sekolah, tapi bisa di mana saja.
Ketika Covid-19 melanda, Kemendikbudristek memberikan tiga opsi pilihan kurikulum, yakni (a) Kurikulum 2013; (b) Kurikulum Kondisi Khusus dan (c) Kurikulum Merdeka. Kurikulum Merdeka sebagai opsi sekolah dalam rangka menghadapi pandemi.
Lahirnya Kurikulum Merdeka berangkat dari cara pandang perlunya dikembangkan sebuah kurikulum yang fleksibel, sekaligus berfokus pada esensi materi dan pengembangan karakter serta kompetensi murid. Konsekuensi dari cara pandang ini adalah belajar tidak dimaknai harus berisi teori-teori semata, namun lebih implementatif.
Realitas yang mendorong manusia untuk menyesuaikan diri menghadapi era disrupsi, di mana inovasi teknologi dan perubahan massif begitu mendominasi.
Dari sisi guru ada keuntungan, yakni konsep merdeka belajar memberi kebebasan untuk berpikir dalam menentukan langkah yang dan strategis. Hal itu dibutuhkan sehingga bisa menjawab semua tantangan dan permasalahan pendidikan yang dihadapi.
Guru dituntut menerjemahkan konsep materi dan merealisasikan dalam penerapan pembelajaran. Tentunya, kedalaman pengalaman guru dan keluasan wawasan sangat dibutuhkan.
Prokontra Seputar Kurikulum Merdeka
Project Based Learning (Pembelajaran Berbasis Project) bisa dibilang menjadi perdebatan di kalangan akademisi. Kekhawatiran hilangnya misi dan perubahan orientasi visi belajar jika model pembelajaran seperti ini diterapkan.
Mengapa? Belajar sejatinya adalah membentuk manusia memiliki value, berkarakter dan menjadi manusia seutuhnya. Belajar di sekolah tidak melulu harus berorientasi pekerjaan.
Ada kecurigaan dari sejumlah kalangan, penerapan kurikulum ini hanya dilakukan di sekolah yang berada di bawah Kemendikbudristek (sekolah penggerak). Ini tentu membutuhkan klarifikasi dari Pemerintah. Namun, yang pasti kurikulum ini menjadikan siswa diberi pilihan untuk memilih mata pelajaran yang hanya diminati.
Bagaimana jika siswa tidak senang pelajaran agama? Ini justru bertentangan dengan alasan siswa belajar jika dikaitkan dengan nilai Pancasila, khususnya sila pertama tentang ketuhanan. Siswa tidak bisa memilih pelajaran hanya berdasarkan minatnya saja, lalu mengabaikan pelajaran lain yang justru seharusnya dia terima di sekolah.
Bagi kalangan tertentu, pembelajaran secara tradisional yakni melalui ceramah dan textbook oriented masih harus dipertahankan. Namun, pada kenyataannya pembelajaran siswa harusnya diselenggarakan melalui interaksi antarsiswa, praktik langsung, dan mendapatkan atmosfer belajar.
Inilah yang seharusnya mendorong siswa untuk mendemonstrasikan hasil belajarnya dalam sebuah project. Kompleksitas aktivitas dalam sebuah project menciptakan relevansi, keinginan dan transformasi informasi dari apa yang dipelajari.
Dengan begitu, Kurikulum Merdeka mendorong siswa untuk mendapatkan umpan baik yang tidak menghakimi, monitoring dan observasi. Pembelajaran dari perspektif ini dipahami sebagai proses yang dikelola mandiri dari penyelesaian ulang konflik kognitif melalui pemahaman, pengalaman nyata, diskursus kolaboratif dan refleksi.
Implementasi Bertahap
Pemerintah memang tidak terburu-buru menerapkan Kurikulum Merdeka mengingat penetapannya yang baru satu tahun lebih. Pemerintah dan DPR masih membutuhkan waktu untuk melihat efektivitas penerapan kurikulum tersebut.
Evaluasi masih dibutuhkan untuk melihat apakah kurikulum memberi ruang kepada guru dan adanya kesesuaian antara pembelajaran yang diberikan dengan minat dan bakat siswa. Sekolah masih diberi pilihan untuk menerapkan Kurikulum Merdeka atau kurikulum sebelumnya.
Belum diwajibkannya kurikulum ini di sekolah sebenarnya menunjukkan ketidaksiapan Pemerintah. Akademisi sudah melakukan penolakan dengan berbagai alasan. Tentu menjadi tugas Pemerintah untuk menyerap aspirasi mereka. UU Sisdiknas telah menjadi acuan penyelenggaraan pendidikan yakni perubahan kurikulum harus mengacu pada Standar Nasional Pendidikan (SNP).
Hal lain yang harus disoroti adalah pengadaan buku untuk kurikulum yang tentunya menghabiskan anggaran sangat besar. Di tengah keuangan negara yang kian memprihatinkan, tentunya dibutuhkan kebijakan yang ramah terhadap keuangan negara dan tidak boros. Semoga Pemerintah lebih bijak dalam melihat kondisi riil di lapangan terkait implementasi Kurikulum Merdeka.**