Siapa Menuai Untung di Dana Saksi Parpol?

Syukri Rahmatullah - Okezone
Redaksi Redaksi
Siapa Menuai Untung di Dana Saksi Parpol?
nevosnews.com
ilustrasi
AWAL Januari 2014 lalu digelar sebuah rapat koordinasi antara Menteri Koordinator Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, Ketua Komisi Pemilihan Umum Husni Kamil Malik, dan Ketua Bawaslu Muhammad.
 
Rapat tersebut membahas perihal Dana Mitra Pengawas Pemilu Lapangan (PPL) yang sudah disetujui Komisi II DPR, tapi anggarannya belum juga keluar. Akhirnya, Bawaslu melakukan koordinasi dengan pemerintah perihal masalah tersebut.
 
Di dalam rapat, pemerintah menyampaikan keluhan perihal minimnya kehadiran saksi-saksi partai politik di setiap TPS. Menurut mereka parpol mengaku hal tersebut terjadi karena minimnya anggaran yang dimiliki partai politik.
 
Kemudian, muncul inisiatif untuk memberikan pendanaan bagi saksi parpol dari anggaran pemerintah. Pemerintah mengakomodasi anggaran saksi parpol di setiap TPS untuk 12 parpol. Setiap saksi dibayar Rp100 ribu, pemerintah pun menganggarkan Rp660 miliar. Sehingga total Bawaslu mendapatkan anggaran dana sebesar Rp1,5 triliun, antara lain Rp800 miliar untuk bimbingan teknis dan honor saksi PPL, dan Rp700 miliar untuk honor saksi parpol di setiap TPS.
 
Hasil rapat tersebut pun kini akhirnya menjadi kontroversi. Lantaran, banyak parpol yang mencium "udang di balik batu" dalam gagasan pemberian anggaran tersebut. Sejumlah parpol yang tidak masuk ke dalam pemerintahan, seperti PDI Perjuangan, Partai Gerindra, Partai Nasdem menolak gagasan tersebut.
 
Sedangkan, partai yang berada di dalam pemerintahan seperti Demokrat, Partai Amanat Nasional, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mendukung langkah tersebut.
 
Mungkin saja, gagasan tersebut memang baik adanya. Bagaimana pun, salah satu biaya yang paling besar di dalam pemilu adalah pembiayaan saksi. Tak hanya partai politik, bahkan calon anggota legislatif pun biasanya menganggarkan saksi di tiap TPS agar suara mereka aman dan tidak dicurangi.
 
Sebut saja, jika untuk caleg DPR dia harus mengawasi 1.000 TPS dengan dua orang saksi berhonor Rp100 ribu, mereka harus mengantongi uang Rp200 juta. DKI Jakarta saja, memiliki 17.045 TPS yang tersebar di lima wilayah, termasuk kepulauan seribu Belum lagi biaya sosialisasi, biaya spanduk, baliho dan sebagaimana. Hingga jika tidak memiliki uang miliaran, sulit bagi seorang caleg untuk mengamankan suaranya.
 
Makanya, tidak sedikit calon anggota DPR yang mencari "bohir" atau "bandar" untuk modal mereka lancar melaju ke Senayan. Imbal baliknya, saat di Senayan mereka harus membalas jasa "bohir" atau "bandar" tersebut jika memiliki kepentingan. Begitu juga yang mungkin terjadi dengan partai politik. Makanya, meminimalisir cost parpol atau caleg, tentu saja meminimalisir kepentingan "bohir" atau "bandar" untuk "merusak" mental-mental wakil rakyat di Senayan.
 
Tapi di sisi lain, wujud "kehati-hatian" parpol atau caleg dalam menyiapkan saksi-saksi di TPS itu sebagai antisipasi mereka terhadap kemungkinan kecurangan yang terjadi terhadap suara mereka. Pasalnya, sering kali terjadi suara di TPS kemudian berubah saat di Kecamatan dan Provinsi, hingga ke Pusat, sehingga mereka berjibaku menyiapkan uang yang banyak untuk mendanai saksi.
 
Padahal Bawaslu juga sudah memiliki petugas pengawas pemilu di tiap TPS untuk mengawasi perjalanan suara dari TPS ke Kelurahan, Provinsi, hingga Nasional.
 
Jadi yang perlu diantisipasi sejak awal adalah potensi kecurangan. Pihak-pihak yang bertugas menjalankan pemilu dari tingkat PPS, PPK, Provinsi, hingga Nasional harusnya dapat menjamin bahwa suara parpol, caleg aman dan tidak bisa berubah secara ajaib atau tidak ada kecurangan.
 
Jika tidak terjamin, tentu saja partai politik tidak begitu saja percaya dengan penyelenggara pemilu dan akhirnya banyak sekali anggaran yang harus keluar untuk hal tersebut. Yang akhirnya dirugikan adalah masyarakat, karena anggaran ratusan miliar yang seharusnya dapat digunakan untuk program-program mensejahterakan rakyat, harus diambil dan dialihkan untuk kepentingan partai politik.
 
Ditambah lagi, jika merunut pernyataan Ketua Bawaslu Muhammad di atas, bahwa yang memiliki inisiatif adalah pemerintah, tentu usulan tersebut jadi dipertanyakan objektivitasnya. Pada akhirnya, tahun 2014 adalah tahun pemilu, sering kali gagasan-gagasan yang "bertopeng" baik kadang muncul dengan ada kepentingan sesaat di baliknya.
 
Lalu, apakah ada kepentingan di balik usulan tersebut? Hanya pihak pengusul dan Tuhan yang tahu.(uky)
Segala tindak tanduk yang mengatasnamakan wartawan/jurnalis tanpa menunjukkan tanda pengenal/Kartu Pers riaueditor.com tidak menjadi tanggungjawab Media Online riaueditor.com Hubungi kami: riaueditor@gmail.com
Komentar
Berita Terkini