Menjadi Selir Bupati RembangKartini yang semula gigih melawan perkawinan di luar kehendak si anak gadis, seperti dinyatakan kepada Nyonya Ovink-Soer, istri Kontrolir Jepara, Wakil Binnenlandsch Bestuur atau pegawai administrasi kolonial, menjadi senjata makan tuan.
Nyatanya, Kartini menikah dengan orang yang tidak pernah dikenalnya dan tidak dicintainya. Bahkan, orang itu telah punya tiga orang selir dan enam orang anak. Kartini mengulang sejarah ibu kandungnya, menjadi selir seorang bupati.
(Baca Juga:
Kartini Menggugat, Mengungkap Fakta yang Ditutupi (1))
Perkawinan Kartini dengan Bupati Rembang Raden Adipati Djojoadiningrat sempat mengejutkan banyak teman-temannya yang ada di Belanda. Sejak perkawinannya itu, Kartini kerap sakit-sakitan dan mulai jarang menulis surat kepada teman-temannya.
Tidak hanya itu, pendirian Kartini pun mulai mengalami perubahan. Kepada sahabatnya Stella, Kartini menulis, kebahagiaan seorang wanita yang paling tinggi, sejak berabad-abad lalu adalah hidup selaras dengan laki-laki.
Kartini juga mengatakan, pernikahan dengan Bupati Rembang justru telah membebaskannya dari kekangan. Sejak itu, dia bisa lebih cepat bekerja untuk rakyat dan terjun langsung ke lapangan. Semua tindakannya ini mendapat restu sang suami.
Setelah perkawinannya dan menjadi Raden Ayu di Rembang, Kartini baru bisa membuka sekolah kecil untuk anak-anaknya dan anak perempuan yang lebih besar. Maka itu, Kartini belum bisa dikatakan berhasil melaksanakan angan-angannya.
Meski tidak bisa melaksanakan semua ide-idenya, Kartini patut merasa bangga telah menjadi seorang ibu yang sejati. Usai melahirkan anak pertamanya, lima hari kemudian Kartini menghembuskan napas terakhirnya, pada usia 25 tahun.
Merintis Kebangkitan NasionalKartini adalah seorang perintis kebangkitan dan kesadaran nasional yang terlupakan. Gagasannya menuju persatuan dan ajakan langsung untuk bersatu, telah berkali-kali diutarakan Kartini, jauh sebelum Budi Utomo lahir pada 20 Mei 1908.
"Kami akan menggoyah-goyahkan gedung feodalisme itu dengan segala tenaga yang ada pada kami, dan andaikan hanya satu potong batu yang jatuh, kami akan menganggap hidup kami tidak sia-sia," tulis Kartini kepada Nyonya Ovink-Soer.
Pandangan Kartini saat itu sangat maju. Sebagai anak kandung dari feodalisme, dia merasa bahwa bangunan yang ditempatinya sedari kecil itulah yang menjadi biang keladi, penghambat kemajuan kaum bumi putera dalam mencapai kemerdekaannya.
"Tetapi sebelum itu, kami akan mencoba memperoleh kerjasama, meski dari hanya satu orang pria yang paling baik dan terpelajar di Jawa. Kami akan menghubungi kaum pria kita yang terpelajar dan progresif," tambahnya lagi.
Dengan bekerjasama kaum pria, Kartini ingin menandaskan bahwa perjuangan pembebasan rakyat yang disuarakannya bukan hanya untuk kaum wanita saja, tetapi juga kaum pria. Untuk itu, dia menyarankan agar terjadinya satu persatuan nasional.
"Sebab kami bukan berjuang untuk memusuhi kaum lelaki, melainkan untuk menentang pendapat-pendapat dan adat yang kolot, yang tidak berguna lagi bagi tanah Jawa di hari depan," sambungnya.
Selain menyerukan persatuan dengan kaum pria, Kartini juga menjalin hubungan dengan kaum wanita Jawa yang bernasib sama dengannya, dari kalangan elite. Namun uluran tangannya untuk ikut berjuang bersama tidak disambut positif.
"Hampir semua wanita yang kukenal mengutuk keadaan sekarang ini. Tetapi kutukan saja takkan menolong sedikitpun. Harus ada perubahan! Maka marikan ibu-ibu dan gadis-gadis, bangkitlah! Marilah kita bergandengan dan bekerjasama," terangnya.
Kartini-pun beranjak lebih jauh dengan pemikirannya mengenai pergerakan nasional. "Kaum muda, wanita dan pria, seharusnya saling berhubungan. Mereka seorang-seorang dapat berbuat sesuatu untuk mengangkat martabat bangsa kita," ungkapnya.
Meski dirasa berat, Kartini yakin, jalan persatuan itulah kuncinya. "Jika kita semua bersatu, menyatupadukan kekuatan kita dan bekerjasama, hasil pekerjaan kita akan lebih besar. Dalam persatuan letaknya kekuataan dan kekuasaan," tukasnya.
Mengagas Jong JavaGagasan Kartini untuk menggalang front nasional diiringi dengan ide pembentukan satu organisasi gerakan yang disebut Jong Java. Jauh setelah kematiannya, organisasi itu akhirnya berdiri pada 1915, mula-mula dengan nama Trikoro Dharmo.
"Kami telah mendapat banyak pengikut. Angkatan muda kita telah mendukung sepenuhnya. Jong Java akan membangun persatuan, dan sudah tentu kami akan menggabung.. Mereka menamakan saya Ayunda. Saya menjadi kakak mereka," tulis Kartini.
Saat itu, Kartini sudah mendapat banyak pengikut dan kenalan dari sesama bangsanya. Mereka juga telah menjalin hubungan yang rapat dalam bentuk surat-menyurat kepadanya. Ini merupakan satu hal yang sama sekali baru pada waktu itu.
"Yang kami lakukan sekarang ini adalah hal yang baru sama sekali. Belum pernah ada pemudi yang surat menyurat dengan kaum pemuda. Dan kami melakukan itu seperti biasa saja, seolah-olah bukan hal yang aneh," sambungnya kepada Nyonya Ovink-Soer.
Dengan terjalinnya hubungan antara Kartini dengan para pemuda masa itu, maka terbukalah jalan menuju persatuan yang lebih matang. Maka menjadi jelas, bahwa Kartini bukan hanya pelopor emansipasi wanita, tetapi kesadaran nasional Indonesia.
Sumber Tulisan
*William H Frederick dan Soeri Soeroto, Pemahaman Sejarah Indonesia, Sebelum dan Sesudah Revolusi, LP3S, Cetakan Ketiga, Juni 1991.
*Sulastin Sutrisno, Surat-Surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya, Penerbit Djambatan, Oktober 1976.
*Vissia Ita Yulianto, Aku Mau, Feminisme dan Nasionalisme, Surat-surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar 1899-1903, Penerbit Buku Kompas, Cetakan Pertama, April 2004.
*Pramoedya Ananta Toer, Panggil Aku Kartini Saja, Lentere Dipantara, Cetakan 3, Maret 2007.
*Harry A Poeze, Di Negeri Penjajah, Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950, KPG, Cetakan I, Juli 2008.
*Peter Carey, Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa 1785-1855, KPG, 2011.
(san/sindonews)