Bangsa Indonesia memperingati Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) setiap tanggal 20 Mei. Pada 2018 ini, peringatan Harkitnas sudah berusia 110 tahun, dihitung sejak proses sejarah yang ditandai dengan lahirnya organisasi Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908.
Jika membedah dari kelahirannya, Boedi Oetomo adalah organisasi pribumi yang bicara tentang persatuan dan kesatuan. Meskipun ketika pertama kali berdiri, Boedi Oetomo belum menyasar ide nasionalisme secara keseluruhan, namun semangat untuk bersatu menjadi pemicu lahirnya organisasi tersebut.
Kebangkitan benih-benih semangat nasionalisme ketika itu ditandai dengan munculnya kesadaran sebagai sebuah bangsa untuk menjadi maju dan berdaulat, serta membebaskan diri dari belenggu bangsa lain, walaupun konteksnya masih sangat terbatas.
Organisasi Boedi Oetomo digagas pertama kali oleh Wahidin Sudiro Husodo, Sutomo, dan tokoh-tokoh lainnya. Saat itu, ruang geraknya sangat terbatas hanya dalam bidang pendidikan, ekonomi, dan sosial budaya. Sedangkan anggotanya berasal dari kalangan priayi suku Jawa dan Madura.
Barulah sejak tahun 1915, Boedi Oetomo mulai bergerak di bidang politik. Gerakan nasionalisme Boedi Oetomo yang berciri politik, dipengaruhi pula oleh berlangsungnya Perang Dunia I. Dalam situasi itu, pemerintah kolonial Hindia-Belanda membentuk milisi bumiputera, yang berisi warga pribumi dengan pelatihan wajib militer.
Boedi Oetomo pun memberi syarat kepada pemerintah kolonial mengenai pemberlakuan wajib militer bagi warga pribumi, yakni harus dibentuk sebuah lembaga perwakilan rakyat (Volksraad). Usul itu lantas disetujui sehingga terbentuklah Volksraad pada 18 Mei 1918.
Menyadari arti penting keberadaan organisasi bagi rakyat, maka tahun 1920 Boedi Oetomo mulai menerima anggota dari masyarakat biasa. Dengan bergabungnya masyarakat umum itulah, Boedi Oetomo menjadi sebuah organisasi pergerakan rakyat yang mengusung semangat nasionalisme.
Penetapan Hari Kebangkitan Nasional didasari pada nilai sejarah yang tertanam saat lahirnya Boedi Oetomo, 20 Mei 1908. Kendati begitu, bangsa ini baru memperingatinya 40 tahun kemudian, yaitu pada tahun 1948, atau ketika bangsa Indonesia baru berusia 3 tahun.
Sebagai gambaran, pada tahun 1948 kondisi politik nasional tengah menghadapi berbagai problematika, baik dari dalam atau pun luar negeri. Problem itu di antaranya ketika Indonesia yang terikat Perjanjian Renville, wilayahnya terus mengecil hingga hanya menyisakan Banten, Jawa Tengah, Yogyakarta dan sebagian besar Sumatera.
Kondisi pemerintahan kala itu juga sangat labil. Pasca-Kabinet Perdana Menteri Amir Syarifuddin jatuh dan digantikan Mohammad Hatta, pergolakan terus terjadi di arus bawah hingga tataran elite.
Terlebih ketika Bung Hatta menerapkan kebijakan 'Re-Ra' atau Reorganisasi dan Rasionalisasi di berbagai perangkat pemerintahan, termasuk golongan tentara. Tak sedikit yang menolak pangkatnya diturunkan akibat kebijakan itu.
Oleh karenanya, demi membuat sejumlah elite partai dan lembaga lain bisa harmonis dan bersatu lagi, dimunculkanlah satu hari peringatan yang mengambil hari lahirnya Boedi Oetomo tanggal 20 Mei. Meskipun waktu itu, momennya belum dinamai Hari Kebangkitan Nasional, melainkan Hari Kebangunan Nasional.
"Hari itu (20 Mei) menurut beliau (Presiden Soekarno) adalah hari yang patut dianggap mulia oleh bangsa Indonesia," jelas Ki Hadjar Dewantara dalam buku ‘Dari Kebangunan Nasional sampai Proklamasi Kemerdekaan: Kenang-Kenangan Ki Hadjar Dewantara’, seperti dikutip Okezone, Minggu (20/5/2018).
"Karena pada hari itu, perhimpunan kebangsaan yang pertama, yaitu Boedi Oetomo didirikan dengan maksud menyatukan rakyat yang dulu masih terpecah belah, agar dapat mewujudkan suatu bangsa yang besar dan kuat," imbuhnya lagi dalam buku tersebut.
Hari Kebangunan Nasional atau yang sekarang disebut sebagai Hari Kebangkitan Nasional dicetuskan atas inisiatif Bung Karno, dan diperingati untuk pertama kali pada 20 Mei 1948 di Yogyakarta sebagai Ibu Kota Republik, serta di berbagai daerah lain.
Pada peringatan Harkitnas ke-50, tahun 1958, Bung Karno mempertegas esensi peringatan Harkitnas. Menurut Proklamator RI itu, esensi dari peringatan Harkitnas adalah kemenangan 'Beginsel' (prinsip), yaitu tekad untuk menjadi bangsa yang bebas dan merdeka dalam memerintah dirinya sendiri.
Kemudian pada peringatan Harkitnas tahun 1962, Bung Karno kembali mengulangi penegasannya, bahwa hanya bangsa yang percaya pada kekuatan sendiri yang dapat menjadi bangsa yang besar. Pada pidatonya, Bung Karno menyebut bahwa kata kunci menuju bangsa yang besar termanifestasikan dalam konsepnya tentang Trisakti.
Bercermin pada nilai sejarah dan semangat persatuan lahirnya Harkitnas itulah yang menjadi alasan kuat bangsa ini untuk introspeksi, dan mengedepankan nasionalisme dalam menghadapi problematika yang muncul.
Setiap individu ataupun kelompok di negara ini harus mulai berfikir jernih, tentang apa yang telah dan akan dilakukan, serta peran apa yang telah dan akan diambil dalam rangka mempercepat eskalasi kebangkitan nasional. Semua itu, hanya bisa diraih jika seluruh komponen bangsa bersatu, baik secara gagasan dan tindakan.
(okezone.com)