JAKARTA - Siapa sangka jika salah satu negara tetangga RI, yakni Thailand, telah lama dinobatkan menjadi salah satu tujuan utama wisata seks dunia. Meski masih ilegal, pekerja seks di sana disebut-sebut berkontribusi besar pada produk domestik bruto (PDB).
Perkiraan kontribusi pekerja seks terhadap PDB Thailand memang masih sangat bervariasi karena industri ini beroperasi hampir seluruhnya di "bawah tanah". Pada tahun 2015, perusahaan riset pasar gelap Havocscope menilai industri seks menghasilkan sebesar US$6,4 miliar atau Rp97,2 triliun per tahun, sekitar 1,5% dari PDB Thailand tahun itu.
Salah satu pekerja seks di Pattaya, berusia 37 tahun yang kerap disapa Anna, memberikan kesaksiannya. Ia telah menggeluti pekerjaan sebagai pekerja seks transgender selama 17 tahun.
"Calon klien berkata, 'Saya memberi Anda 3.000 baht (Rp1,3 juta). Satu jam'. Ketika saya bekerja di pabrik, saya menghasilkan 6.000 baht (Rp2,6 juta) dalam satu bulan. Ini adalah awal dari kisah saya sebagai pekerja seks," kata Anna, mengutip Foreign Policy, Selasa (21/2/2023).
"Mengunjungi Thailand dan tidak melihat adanya pekerja seks? Ini seperti pergi ke KFC dan Anda tidak pernah melihat ayam goreng," ujarnya lagi.
Meskipun menghasilkan miliaran setiap tahun, industri ini secara efektif ilegal, kontroversial di kalangan warga Thailand, dan sangat terstigmatisasi. Kini, perdebatan tentang pekerjaan seks meluas ke forum publik, dengan seorang anggota parlemen yang progresif memperkenalkan undang-undang di parlemen untuk melegalkannya.
Pendukungnya berpendapat bahwa kriminalisasi telah merampas pekerja seks dari hak-hak dasar pekerja dan perlindungan yang dinikmati oleh pekerja lain. Ini membuat mereka lebih rentan terhadap risiko kesehatan, pelecehan, eksploitasi, dan kekerasan.
Mayoritas pekerja seks di dunia adalah perempuan. Proyeksi tahun 2017 oleh Departemen Pengendalian Penyakit Thailand secara konservatif memperkirakan bahwa 129.000 dari 144.000 pekerja seks di negara itu adalah perempuan.
Di Thailand sendiri, perempuan menduduki 16% kursi parlemen pada 2021, sama dengan 10 tahun lalu. Sebagai perbandingan, perempuan merupakan 20% dari majelis pemerintahan Arab Saudi dan 28% dari Kongres Amerika Serikat tahun 2023 ini.
Sementara laporan sejarah tentang kerja seks yang ada di Thailand berasal dari tahun 1300-an. Industri seks modern di Thailand berkembang pesat saat melayani gelombang imigran China pada awal 1900-an, tentara Jepang selama Perang Dunia II, dan tentara AS selama Perang Vietnam.
Namun banyak orang Thailand membenci visibilitas dan ketenarannya. Akhirnya negara ini mengadopsi Undang-Undang Pemberantasan Prostitusi pada tahun 1960, diikuti oleh Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Pelacuran tahun 1996, yang melarang hampir semua kegiatan yang terkait dengan pekerjaan seks dan pendapatan yang diperoleh darinya.
(sumber: CNBCIndonesia.com)