Penyelamatan Nasib Bumi Terancam, 200 Negara Tak Kompak!

Redaksi Redaksi
Penyelamatan Nasib Bumi Terancam, 200 Negara Tak Kompak!
Foto: Kekeringa di Turki. (AP/Emrah Gurel)

JAKARTA - Pembicaraan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim COP26 yang digelar di Glasgow, Skotlandia diprediksi akan menemukan kesimpulan yang sulit.

Pasalnya KTT yang digelar selama dua minggu terakhir penuh dengan perdebatan dalam menyelesaikan beberapa perselisihan utama terkait percepatan pencegahan bencana iklim di dunia. Sebelumnya para pemimpin dunia lebih dulu memulai pertemuan seremonial di KTT ini dua pekan lalu.

"Masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Dunia mengawasi kita," kata Alok Sharma, presiden KTT COP26, dikutip dari Al Jazeera, Jumat (12/11/2021).

Sebagaimana diketahui, hampir 200 negara peserta terlibat dalam pembicaraan untuk mencapai kesepakatan guna mencegah bencana pemanasan global.

Namun negara-negara peserta hampir tidak mendekati kesepakatan mengenai beberapa rencana, seperti apakah pengurangan emisi nasional harus ditingkatkan dalam jangka pendek, bagaimana aksi iklim dilaporkan, dan bagaimana negara-negara yang rentan didukung.

Sebelumnya badan iklim PBB menerbitkan draft pertama (PDF) berisi keputusan politik banyak negara, Rabu (10/11/2021). Draft ini rencananya akan dikeluarkan pada akhir KTT Iklim COP26.

Versi rancangan sebelumnya dengan jelas menyatakan dunia harus berjanji untuk menghentikan subsidi bahan bakar fosil dan menghapusnya secara bertahap. Sekarang teks tersebut menyertakan kata "tidak berkurang" sebelum batu bara, dan penghapusan subsidi bahan bakar fosil yang "tidak efisien" secara bertahap.

"(COP26) menyerukan kepada para pihak untuk mempercepat pengembangan, penyebaran dan penyebaran teknologi dan penerapan kebijakan untuk transisi menuju sistem energi rendah emisi, termasuk dengan cepat meningkatkan pembangkit listrik bersih dan mempercepat penghentian pembangkit listrik tenaga batu bara yang tidak berkurang. dan subsidi yang tidak efisien untuk bahan bakar fosil," bunyi draf terbaru.

Laporan Al Jazeera mengatakan kata-kata dalam rancangan tersebut telah berubah karena penentangan yang kuat dari negara-negara yang merupakan pengguna dan produsen bahan bakar fosil yang signifikan, termasuk Arab Saudi dan China.

Negosiasi juga mendapat tantangan ketika Amerika Serikat dan China, dua negara penghasil emisi terbesar di dunia, meluncurkan rencana aksi iklim bersama.

Sementara banyak negara berkembang menuntut negara-negara maju mengenai pendanaan pada KTT iklim COP26. Dana tersebut nantinya ditujukan untuk mendukung transisi energi guna mengurangi emisi gas rumah kaca.

India bahkan meminta negara-negara maju untuk menyediakan dana US$ 1 triliun atau setara Rp 14.286 triliun (asumsi Rp 14.280/US$) untuk mendukung rencana terkait iklim negara-negara berkembang.

Sementara itu negara-negara maju lebih menyukai dorongan yang lebih besar pada pengurangan emisi. Padahal banyak negara-negara yang belum sepenuhnya memiliki jaringan listrik yang merata dan merasa tidak adil karena sebagian besar negara berkembang tidak bersalah atas emisi.

Konferensi COP26 awalnya bertujuan untuk mempertahankan target aspirasi Perjanjian Paris 2015 untuk membatasi pemanasan global pada 1,5 derajat Celcius (2,7 derajat Fahrenheit) di atas tingkat pra-industri dan menghindari efek terburuk dari perubahan iklim.

Tetapi di bawah janji negara-negara saat ini untuk mengurangi emisi dekade ini, para peneliti mengatakan dunia akan mencapai tingkat pemanasan global yang jauh melampaui batas itu, melepaskan kenaikan permukaan laut yang dahsyat, banjir dan kekeringan.

(sumber: CNBCIndonesia.com)


Tag:
Berita Terkait
Segala tindak tanduk yang mengatasnamakan wartawan/jurnalis tanpa menunjukkan tanda pengenal/Kartu Pers riaueditor.com tidak menjadi tanggungjawab Media Online riaueditor.com Hubungi kami: riaueditor@gmail.com
Komentar
Berita Terkini