Sejarah Kelam Tragedi Pembantaian 10 Ribu Etnis Cina (2)

Redaksi Redaksi
Sejarah Kelam Tragedi Pembantaian 10 Ribu Etnis Cina (2)
Arsip nasional
Penjara Glodok
VOC Culik Orang Cina dari Cina Selatan

Sejak JP Coen mendirikan Batavia, jumlah mereka makin membengkak. Di bawah pimpinan Souw Beng Kong yang kemudian dijadikan kapiten Cina pertama, warga Cina dari Banten ramai-ramai memasuki Batavia.

VOC memerlukannya untuk membangun Batavia, karena etnis Cina dianggap pekerja keras, gigih, dan tahan uji. Bahkan pada awalnya, VOC banyak menculik orang Cina dari Cina Selatan.

Tapi, setelah itu orang Cina berdatangan sendiri ke Nusantara karena tergiur karena banyaknya rekan mereka yang kaya raya setelah menetap di Batavia. Glodok dulunya terletak di luar tembok kota Batavia, atau sekitar satu kilometer sebelah utara pusat pemerintahan VOC (Stadhuis atau Gedung Museum Sejarah DKI Jakarta). Glodok mulai ditetapkan sebagai perkampungan Cina setelah huru-hara Oktober 1740 yang mengakibatkan ribuan etnis ini terbunuh.

Penguasa VOC menyebutnya sebagai pemberontakan warga Cina, sedangkan bagi warga Cina merupakan pembantaian besar-besaran. Peristiwa ini disebut 'tragedi pembantaian Angke'.

Tragedi Pembantaian Angke

Angke berarti `kali merah`. Akibat banyaknya bangkai manusia hanyut di kali ini hingga airnya memerah.

Agar kompeni mudah melakukan pengawasan terhadap mereka, setelah peristiwa pembantaian, Glodok dijadikan Chineesche Kamp. Pengaturan di kampung Cina berada di bawah wewenang administratif para opsir Cina.

Dalam tugas sehari-hari para opsir Cina itu (kapiten dan letnan) membentuk Dewan Cina (Kong Koan). Makin banyaknya imigran Cina ke Batavia pada 1837 Kong Koan diketuai Majoor Cina, dengan anggota Kapiten dan Letnan.

Mereka merupakan perantara atau penghubung antar kelompoknya dengan kompeni. Dalam menghadapi masalah, Belanda memberikan instruksi lewat mereka untuk diteruskan pada kaum/kelompoknya.

Sedangkan kepala-kepala itu diharuskan memberikan informasi permasalahan yang dihadapi kaumnya pada Belanda. Belanda juga menarik pajak kepala dari warga Cina.

Glodok dan Kisah Kelam Perjuangan Indonesia

Sampai akhir 1950-an dan awal 1960-an sebagian besar uang beredar di Indonesia berada di Glodok. Pada masa Bung Karno, ketika kurs dolar AS tidak boleh diumumkan di media massa, Glodok merupakan black market atau `pasar gelap` jual beli dolar, dan bersaing dengan Pasar Baru.

Di Glodok terdapat berbagai peninggalan bersejarah berupa gedung-gedung yang berusia ratusan tahun. Seperti gedung keluarga Souw di Jalan Patekoan (kini Perniagaan). Patekoan berarti `delapan teko/poci` pat te koan.

Di sini pernah tinggal seorang kapiten Cina beranama Gan Djie. Istrinya yang berjiwa sosial, tiap hari menyediakan delapan buah teko (poci) berisi air teh. Mereka yang kehausan di perjalanan (waktu itu belum banyak yang berjualan makanan dan minuman), dipersilahkan minum air teh ini. Akhirnya jalan itu disebut Patekoan.

Sebuah bangunan bersejarah kini ditempati SMUN 19 yang dikenal dengan sebutan cap-kau artinya sembilan belas. Di tempat inilah mula-mula berdiri suatu organisasi modern di kota Batavia, bahkan di Hindia Belanda. Tiong Hoa Hwee Koan (THHK), atau Perhimpunan Tionghoa, yang berdiri Maret 1900.

Tahun berikutnya (1901) organisasi ini mendirikan Sekolah Tionghoa THHK. Sebagai imbangan THHK yang menyebarkan nasionalisme, Belanda mendirikan Hollandsch Chineesche School (HCS), sekolah berbahasa Belanda bagi anak Tionghoa. Begitu pesatnya THHK berkembang, hingga pada 1911 sekolah semacam ini sudah ada di hampir seluruh Nusantara.

Baca: Sejarah Kelam Tragedi Pembantaian 10 Ribu Etnis Cina (1)


(ROL)

Tag:
Berita Terkait
Segala tindak tanduk yang mengatasnamakan wartawan/jurnalis tanpa menunjukkan tanda pengenal/Kartu Pers riaueditor.com tidak menjadi tanggungjawab Media Online riaueditor.com Hubungi kami: riaueditor@gmail.com
Komentar
Berita Terkini