PEKANBARU - Persoalan pendidikan di Kota Pekanbaru terus muncul di setiap Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di setiap jenjang pendidikan. Minimnya ketersediaan kursi dan daya tampung sekolah hingga sistem PPDB yang diterapkan pemerintah seperti persoalan yang tak terselesaikan.
Fakta saat ini, ketersediaan bangku sekolah-sekolah yang ada di Pekanbaru lebih kecil dibanding jumlah siswa yang lulus. Sistem PPDB yang diterapkan belum mampu menyelesaikan masalah. Sistem ini justru dinilai belum bisa adil untuk kalangan masyarakat tertentu.
Lisbon Sitohang, SE, MM dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kota Pekanbaru kepada riaueditor, Jumat (9/2/2024) menuturkan, perlunya perhatian serius Pemerintah untuk menambah ketersediaan bangku di setiap jenjang pendidikan. Apakah itu dengan menambah ruang kelas baru atau membangun unit sekolah baru.
PSI, kata Lisbon sebenarnya mengapresiasi pihak pemerintah yang telah membangun unit sekolah negeri baru. Namun itu menurutnya bukanlah penyelesaian masalah untuk jangka pendek jika melihat dari naiknya grafik angka anak usia sekolah setiap tahun yang tetap tak bisa diimbangi
"Sehingga masalah daya tampung sekolah ini belum seutuhnya terselesaikan untuk saat ini," kata Lisbon.
Lisbon yang juga Caleg PSI Dapil II DPRD Kota Pekanbaru ini menilai, permasalahan pendidikan harus menjadi prioritas utama. Oleh karenanya, pemerintah daerah baik provinsi dan kota sudah sewajibnya benar-benar serius memperhatikan infrastruktur pendidikan.
PSI mendorong pemerintah untuk menyikapi serius soal pendidikan. Masalah pendidikan sendiri, disampaikan oleh Ketum PSI Kaesang Pangarep masuk dalam program PSI yang ketiga. Kaesang menegaskan Harus ada kesetaraan pendidikan yang berkualitas di Indonesia.
Data Kemendikbudristek, lebih dari separuh dana APBN 20 persen untuk pendidikan, berada di daerah. Sepatutnya pula pemerintah daerah memprioritaskan pembangunan infrastruktur yang benar-benar tepat sasaran untuk saat ini.
Buntut dari minimnya daya tampung sekolah, untuk dapat masuk ke sekolah tujuan, masyarakat harus bersaing keras dengan calon peserta didik baru lainnya. Di sinilah disinyalir muncul "jalur belakang" yang merugikan masyarakat kalangan ekonomi lemah.
"Ini seperti rantai setan yang tak bisa diputus. Setiap tahun keluhan-keluhan selalu ada," ujar Lisbon.
Pengawasan pelaksanaan PPDB melalui tiga jalur, yakni zonasi, prestasi ataupun afirmasi juga masih dinilai lemah. Hal ini juga diduga membuka celah-celah kecurangan yang bahkan lebih rapi dan terkoordinir dan sulit terlacak. Masyarakat miskin yang jelas tak mampu bersaing secara finansial jelas akan tereliminasi.
"Ini suatu fenomena yang sangat menyedihkan. Masyarakat lemah terzolimi haknya untuk mendapat pendidikan yang baik dan layak," tukas Lisbon yang juga akademisi Institut Bisnis dan Teknologi Pelita Indonesia ini.
Masih soal pendidikan, untuk menciptakan generasi unggul dan berkualitas, sebut Lisbon Sitohang tak cukup hanya dengan pembenahan infrastruktur saja. Perlu diiringi dengan meningkatkan mutu, kualitas guru dan tenaga pendidik yang pada prinsipnya berhubungan dengan kesejahteraan mereka.
"Ini menurut PSI juga harus menjadi prioritas, memperhatikan kesejahteraan guru dan tenaga pendidik," tutup Lisbon mengakhiri.(Andi)