Waduh, Suplai Bahan Baku Obat dari China, India & Eropa Seret

Redaksi Redaksi
Waduh, Suplai Bahan Baku Obat dari China, India & Eropa Seret
Foto: REUTERS/Jon Nazca

JAKARTA - Pelaku usaha farmasi dalam negeri menilai dampak pandemi virus corona (Covid-19) tak hanya memukul tingkat konsumsi masyarakat, tetapi juga menciptakan kendala tersendiri bagi perusahaan farmasi lokal. Suplai bahan baku obat juga kini tersendat dari negara-negara importir.

CEO PT Kalbe Farma Tbk (KLBF), Vidjongtius, mengatakan pada kuartal II-2020, tidak hanya terjadi penurunan konsumsi masyarakat, tetapi juga suplai produk-produk Fast Moving Consumer Goods (FMCG) ke Indonesia.

Tak hanya produk FMCG atau produk konsumer yang cepat habis penggunaannya, pasokan bahan baku obat juga terkendala.

"Suplai dari China, India, sampai Eropa tersendat. Mereka pasti mengutamakan kebutuhan dalam negeri dulu, baru ekspor. Padahal permintaan sendiri naik dua sampai tiga kali lipat di masa COVID-19, terutama produk berkaitan kesehatan. Yang biasanya stok empat sampai enam bulan, sekarang habisnya cepat sekali," tutur Vidjongtius dalam diskusi virtual, Selasa (19/05/20).

Menurutnya, pasar Indonesia sangat rentan karena ketergantungan terhadap produk bahan baku impor. Dengan demikian, pada saat seluruh negara mementingkan negaranya sendiri, suplai ke Indonesia khususnya untuk obat obatan di mana diimpor dari China, India, Eropa, dan Amerika Serikat terjadi perlambatan.

"Antre yang sangat panjang. Ini satu hal yang kita lihat bagaimana pemerintah saat ini gencar sekali untuk ke depan menciptakan yang namanya mandiri dalam bidang kesehatan," pungkasnya.

Dia menjelaskan, terhambatnya rantai pasokan juga sangat berpengaruh terhadap kinerja keuangan perusahaan.

"Financial risk di Kalbe karena diversifikasi produknya banyak, modal kerja berbeda-beda ada yang panjang ada yang pendek, impornya ada yang cepat ada yang lama, jadi memang pengaturan risiko keuangan ini menjadi penting apalagi rupiah mendadak lemah, ini juga menambah risiko dalam pengelolaan modal kerja di kalbe itu sendiri," ungkapnya.

Dia mengatakan kinerja perusahaan pada kuartal-I 2020 belum terkena dampak pandemi Covid-19. Dampak pandemi baru akan terasa di kuartal-II 2020.

"Di kuartal-II ini dampak sudah mulai kelihatan dan sudah mulai kita lihat ekonomi sudah mulai turun ke level 2% karena tingkat pengangguran bertambah, sektor UMKM juga banyak yang terdampak negatif, purchasing power kita lihat khususnya untuk konsumen sepertinya hilang dari pasar," kata Vidjongtius.

"Pasien-pasien reguler kalau kita lihat ke rumah sakit itu cenderung menurun banyak selama proses bulan April, bulan Mei, jadi secara jumlah pasien yang reguler relatif turun. Ini yang kita siasati bagaimana layanan tersebut tadi disurvei disebutkan ada mengenai availability itu juga kita lakukan, karena apotik masih buka, rumah sakit dan klinik masih buka, nah ini bagaimana yang kami hubungkan ke digital nanti," ujarnya.

Sebab itu dia menilai implementasi new normal pada Juni mendatang sudah tak bisa dipungkiri diterapkan.

"Jadi pilihan kami adalah satu, digital ekosistem itu sudah tidak bisa kami lepas karena kenapa? B to B sudah kita lakukan tapi B to C nya masih kurang, ini yang kami jaring, tadi disebutkan Webinar, bagaimana para dokter Webinar dengan rumah sakit atau dengan pasien, bagaimana edukasi dilakukan, ini semua dibutuhkan digital jadi ini supaya cepat dan fleksibel, ini yang kita harapkan," ucapnya.

(CNBCIndonesia.com)


Tag:
Berita Terkait
Segala tindak tanduk yang mengatasnamakan wartawan/jurnalis tanpa menunjukkan tanda pengenal/Kartu Pers riaueditor.com tidak menjadi tanggungjawab Media Online riaueditor.com Hubungi kami: riaueditor@gmail.com
Komentar
Berita Terkini