JAKARTA - Pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi Standard&Poor's (S&P) tidak akan jauh di atas 5% pada 2019. Ini karena tiga faktor yang terjadi pada periode tersebut yaitu pemilu, suku bunga tinggi, dan kemungkinan naiknya harga setelah pemilu.
Level utang pemerintah yang moderat dan disertai defisit fiskal merupakan faktor pendukung menghadapi kondisi volatilitas eksternal. Berlanjutnya kontrol harga dan sentimen tingkat konsumsi yang lemah setelah pemilu April akan lebih memengaruhi sektor real estat dan BUMN.
Depresiasi rupiah akan menjadi risiko terbatas (contained risk) untuk kualitas kredit korporasi secara sebagian. Sebab, banyak debitur yang merupakan produsen komoditas yang memiliki lindung nilai alami (natural hedge).
Karena itu, S&P memprediksi risiko kredit telah terbangun terhadap sekitar US$ 15 miliar utang termasuk utang yang tidak cocok strukturnya (mismatched debt) untuk emiten saham di sektor real estat, transportasi, dan manufaktur;
Niat pelunasan dan perpanjangan utang yang mismatch tersebut dari sebuah kelompuk usaha yang kompleks atau induk usaha yang sahamnya belum tercatat masih menjadi pertanyaan. Produsen komoditas dapat menghadapi lebih banyak tantangan setelah dua tahun berada pada masa jayanya.
BUMN akan kembali berinvestasi; neraca di sektor tersebut masih melemah. S&P meyakini bank besar di Indonesia memiliki bemper modal yang cukup dan margin untuk menghadapi dampak kedua dari depresiasi rupiah.