Syukur Setiap Waktu

Oleh: Asma Nadia
Redaksi Redaksi
Syukur Setiap Waktu
Asma Nadia
BEBERAPA waktu lalu saya bertemu kolega lama. Bisnisnya tampak semakin mapan, penghasilan meningkat, tetapi wajahnya murung. Ternyata ia sedang mengalami musibah. Anaknya terdeteksi menderita tumor otak.

Sebuah benjolan sebesar jeruk nipis terlihat jelas bersarang di otak bagian belakang. Sang anak bisa pingsan mendadak tanpa ada tanda-tanda. “Sekarang, seluruh waktu saya utamakan buat dia,” ujarnya berderai air mata.

Di hari lain, seorang staf di kantor minta izin pulang cepat karena anaknya yang masih bayi terjatuh dari tempat tidur. Istrinya semakin panik dan terus menangis melihat ada benjolan di kepala putra semata wayang mereka.

Alhamdulillah, semua berakhir baik. Namun, peristiwa tersebut membuat staf saya menyadari betapa ia seharusnya bersyukur di hari-hari sebelumnya ketika sang anak dalam keadaan baik dan tidak jatuh. Sebuah nikmat yang ternyata terlupakan dan luput dimaknai.

Kilasan peristiwa di atas turut membuat saya merenung. Kadang kita kecewa dengan kondisi yang begini-gini saja. Tidak puas dengan keadaan. Padahal, sesungguhnya begitu banyak hal yang harus disyukuri setiap hari.

Ada banyak orang tua yang lupa bersyukur, ketika ananda baik-baik saja, selalu sehat, ketika si kecil tidak jatuh, serta tidak cedera. Sebab, semua adalah karunia yang harus disyukuri, setiap hari, setiap waktu.

Ya, tidak terjadi apa-apa pada buah hati benar-benar sebuah nikmat yang patut disyukuri.

Mungkin tidak semua tahu, setiap hari di Tanah Air terdapat lebih dari 400 warga menjadi korban kecelakaan lalu lintas. Ada yang hanya mengalami luka ringan, tak sedikit yang menderita cacat permanen, bahkan kehilangan nyawa.

Setiap tahunnya, terdapat 26.802 rakyat Indonesia yang meninggal akibat kecelakaan. Lebih dari 125 ribu terluka. Angka tepatnya pasti jauh lebih banyak karena sangat mungkin ada kejadian yang luput terdata. Sementara, untuk cakupan global, di dunia setiap tahunnya, sekitar 1,25 juta orang meninggal akibat kecelakaan lalu lintas.

Artinya, ketika kita meninggalkan rumah, pergi dengan kendaraan, menyeberang jalan, menuju kantor atau sekolah, dan tiba di tempat tujuan dengan selamat, maka seharusnya kita mensyukuri perlindungan yang telah Allah diberikan.

Di pagi hari, saat menikmati segelas teh manis hangat yang diberikan, sudah sepantasnya pula kita mengucap syukur. Sebab, delapan juta lebih orang di Indonesia tidak bisa melakukan itu, bukan lantaran keterbatasan air untuk menyeduh, tapi kondisi tubuh yang memaksa menghindari yang manis-manis karena penyakit diabetes.

Setiap kali membuka mata di pagi hari jangan lupa pula memanjatkan syukur karena 3,5 juta anak bangsa tidak bisa melihat. Jumlah tunanetra di Indonesia bahkan sempat setara dengan jumlah penduduk Singapura.

Pun apabila kita mampu mengingat sesuatu, bersyukurlah, sebab satu juta orang di Tanah Air menderita Alzheimer dan tidak sanggup mengingat banyak hal.

Bagaimana dengan kemampuan mendengar? Ya, jika kita mendengar sesuatu jangan lupa bersyukur. Setengah juta orang di Indonesia berada dalam kepungan sunyi dan tidak bisa mendengar.

Pendeknya, apa pun yang dijalani, di manapun kita melakukannya semua seharusnya membawa diri ke rentetan syukur. Tidak harus berada di tempat yang jauh, tidak perlu ke luar negeri dulu untuk mensyukuri keberadaan saat ini. Ke toilet, kamar tidur, pasar, semua tempat pada hakikatnya merupakan arena bersyukur setiap insan.

Mengulang ayat yang diucapkan-Nya berkali-kali dalam surah ar-Rahman, “Maka nikmat Allah manakah yang kamu dustakan?” Bersyukurlah setiap hati. Bersyukurlah dengan cara yang benar.

Syukur bukan berarti menerima apa adanya, melainkan memaksimalkan apa yang diberikan Allah. Sebaliknya, sikap pasrah dan mudah menyerah bukan merupakan bagian dari rasa syukur. Jika dilakukan, rasa syukur niscaya akan berbanding lurus dengan prestasi.

Sementara, dalam tingkat kenegaraan, kebiasaan bersyukur juga harus diterapkan dengan baik. Suatu bangsa yang mempunyai kekayaan alam yang melimpah tapi disia-siakan, berarti bangsa tersebut belum bersyukur.

Suatu bangsa dengan generasi muda yang sehat, tapi dibiarkan terjebak dalam asap tembakau, minuman keras, dan narkoba, berarti bangsa itu juga tidak bersyukur. Bersyukur, selalu. Setiap waktu. Jangan pernah tidak sebab dengannya Allah berjanji akan menambah nikmat yang sudah dikecap hamba-Nya selama ini.(ROL)

Tag:
Berita Terkait
Segala tindak tanduk yang mengatasnamakan wartawan/jurnalis tanpa menunjukkan tanda pengenal/Kartu Pers riaueditor.com tidak menjadi tanggungjawab Media Online riaueditor.com Hubungi kami: riaueditor@gmail.com
Komentar
Berita Terkini