JAKARTA - Deputi Direktur Yayasan MADANI Berkelanjutan, Giorgio Budi Indrarto mengatakan bahwa Indonesia perlu berfokus pada energi bersih dari sumber yang memang bersih, menuju kemandirian energi pada skala lokal, demi hidup berkelanjutan yang melebihi retorika.
“Sejauh ini, energi terbarukan pada sektor transportasi yang tertuang dalam dokumen Strategi Jangka Panjang Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim masih didominasi sekitar 46% oleh biofuel utamanya biodiesel berbahan dasar sawit. Padahal, berbagai fakta menunjukkan bahwa banyak kerusakan yang telah disebabkan sawit. Selain itu, pilihan pemenuhan energi bersih selama ini masih bersifat terpusat (on grid). Sedangkan senyatanya secara geografis Indonesia memiliki banyak wilayah terpencil. Untuk itu memaksimalkan potensi lokal untuk bahan baku BBN (Bahan Bakar Nabati) selain sawit dalam pemenuhan energi daerah menjadi skenario yang harus diprioritaskan,” ujar Giorgio dalam Diseminasi Kajian Membangun Skenario Industri BBN (Bahan Bakar Nabati) Generasi Kedua yang Berkelanjutan, Studi Kasus Kabupaten Kapuas Hulu yang diselenggarakan pada Senin, 27 November 2023, di Jakarta.
Yayasan Madani Berkelanjutan menggelar acara diseminasi kajian sekaligus dalam momentum perhelatan akbar Pilpres 2024. Para kandidat harus menunjukkan komitmen dan agenda perlindungan lingkungannya. Khususnya, dengan melihat kembali peluang kemandirian energi daerah-daerah di Indonesia dengan melihat potensi komoditas lokal yang ada.
“Saat ini ketiga pasangan calon sudah memaparkan janji-janji berkaitan dengan transisi energi. Namun, mereka masih belum tegas mendorong transisi energi yang dimulai dari kekayaan komoditas lokal. Komitmen soal energi terbarukan para capres wajib untuk dibersihkan dari retorika,” pungkas Giorgio.
Berdasarkan hasil kajian ini, Yayasan MADANI Berkelanjutan menemukan terdapat alternatif pengembangan bahan bakar nabati, khususnya melalui bahan baku generasi kedua.
Temuan dari kajian ini juga menunjukan bahwa ada tiga faktor utama yang mendukung pengembangan bahan bakar nabati generasi kedua, yaitu penentu output (16,28%), pasar yang ditarget (12,70%) dan subsidi atau insentif (11,12%). Penentu output adalah tentang ketersedian bahan baku dan teknologi. BBN generasi kedua ini merujuk pada bahan baku non pangan atau limbah seperti Nyamplung, Jarak pagar, Minyak jelantah, Air cucian ikan dan lainnya.
Dalam konteks temuan ini, yang dimaksud pasar yang ditarget yakni terkait dengan potensi calon pembeli dan strategi penjualan. Sedangkan untuk subsidi atau insentif terkait dengan dukungan kebijakan pemerintah berupa pemberian insentif atau subsidi kepada pelaku usaha yang menghasilkan bahan bakar nabati generasi kedua.
Kajian yang dilakukan mengambil tempat di Kabupaten Kapuas Hulu Provinsi Kalimantan Barat. Mengingat kabupaten ini memiliki potensi yang besar untuk pengembangan bahan bakar nabati generasi kedua dan keberadaan hutannya yang masih baik.
Pemilihan ini dilakukan berdasarkan premis bahwa semakin kaya dengan keanekaragaman hayati dan kawasan hutan, semakin besar potensi ketersediaan bahan baku.
Selain itu, daerah ini juga menjadi laboratorium untuk membangun argumen bahwa pengembangan bahan bakar nabati generasi kedua yang berkelanjutan bisa dilakukan di daerah yang kaya keanekaragaman hayati dan memiliki tutupan hutan yang luas serta justru memberikan kesejahteraan dan keadilan yang lebih berpihak pada masyarakat.
Direktur New Ecology Energy Indonesia, Muhammad Hafnan menyatakan bahwa Indonesia tidak perlu takut untuk mengembangkan BBN dari bahan baku generasi kedua karena banyaknya potensi komoditas yang ada di Indonesia.
Ia juga mengatakan bahwa perlu dibangun pusat informasi atau hub bagi para pelaku BBN di daerah. “Perlu dibangun hub sebagai tempat berbagi informasi bagi para pelaku BBN di daerah misalnya saja seperti membangun BBN Center di daerah untuk pengembangan BBN,” ujar Hafnan.
Giorgio menekankan bahwa dengan fokus mengembangkan potensi bahan baku BBN generasi kedua yang ada di daerah seperti halnya di Kapuas Hulu, maka transisi energi akan jauh lebih berkeadilan.
“Jika potensi ini berhasil direalisasikan, maka mewujudkan kemandirian atau juga kedaulatan energi yang banyak disebut-sebut para politisi dalam janji kampanyenya, dan tidak hanya berhenti menjadi sekedar janji belaka,” tegas Giorgio.
Senada dengan itu, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menyebut peran BBN dalam transisi energi Indonesia cukup signifikan. Oleh karena itu memprioritaskannya, dengan memastikan keberlanjutannya, merupakan langkah yang terbaik, dari pada berjanji untuk menghentikan impor BBM yang sukar terwujud.
“Mendorong pemanfaatan BBN yang berkelanjutan dalam transisi energi ini adalah langkah yang lebih realistis daripada kandidat berjanji menghentikan impor BBM yang bagi saya tidak realistis karena sulit untuk dilakukan tanpa mengatur permintaan dan peningkatan pasokan bahan bakar non-konvensional, termasuk dari BBN”, ujar Fabby.
Fabby menyebut bahwa saat ini kebutuhan BBM mencapai 1,5 juta barrel per hari dan diperkirakan akan mencapai 1,8 juta barrel per hari di 2030. Sedangkan, kapasitas produksi BBM di dalam negeri setelah seluruh pengembangan kilang Pertamina selesai hanya mencapai 1,2 juta barrel per hari artinya ada defisit BBM dalam negeri 0,4 sd 0,6 juta barrel per hari.(*)