Malaysia Dihantam Krisis Beras, Situasi Makin Gawat

Redaksi Redaksi
Malaysia Dihantam Krisis Beras, Situasi Makin Gawat
Foto: Ilustrasi beras shirataki atau basmati. (Dok: Freepik/Selera)

JAKARTA - Malaysia dilaporkan mengalami krisis beras. Beberapa analis bahkan mengingatkan bahwa kondisi itu bisa makin parah bila Kuala Lumpur tidak mengambil langkah-langkah lebih lanjut.

Beberapa pekan terakhir persediaan beras produksi lokal berkurang karena konsumen beralih ke varietas lokal yang lebih murah ini menyusul kenaikan harga beras impor sebesar 36% yang diambil oleh importir beras tunggal Malaysia, Bernas, pada 1 September.

Beras lokal, yang menguasai 65% pasar, dikendalikan oleh harga dan dijual dengan harga 2,6 ringgit (Rp 8.600) per kilogram. Untuk beras impor yang sebagian besar berasal dari India, Thailand, Pakistan, dan Vietnam kini harganya mencapai hingga 4 ringgit (Rp 13.200) per kilogram.

Jaringan supermarket Mydin mengatakan pengiriman mingguan beras lokal kemasan 10kg yang biasa dilakukan distributornya turun secara bertahap sejak bulan Januari dari sekitar 17.000 menjadi hanya 2.000.

"Segera setelah beras lokal dikirim ke toko kami, stoknya akan habis dalam waktu satu jam," kata direktur pelaksana Ameer Ali Mydin kepada The Straits Times dikutip Jumat, (6/10/2023).

Sementara Wakil Menteri Pertanian dan Ketahanan Pangan Chan Foong Hin mengatakan pada hari Minggu bahwa kepanikan membeli telah mereda dan pasokan bahan pokok telah stabil, para kritikus dan ahli percaya bahwa kekurangan serupa akan terulang dan bahkan memburuk jika tidak ada tindakan perbaikan yang diambil oleh Pemerintah Malaysia.

"Kita masih akan mengalami kekurangan beras putih lokal, sampai harga beras global turun atau pemerintah menaikkan harga eceran beras lokal menjadi RM3,40 per kg (atau RM34 per 10kg)," kata salah satu warga bernama Datuk Ameer Ali yang menambahkan bahwa meskipun stoknya perlahan mulai stabil, namun masih belum memenuhi kebutuhan saat ini.

Kritikus juga mengarahkan senjata mereka pada Bernas, yang dipercaya mengelola stok beras nasional.

"Jika Bernas mempunyai persediaan beras impor dalam jumlah yang cukup sebelum India melarang ekspor berasnya, kenaikan harga beras impor akan jauh lebih rendah dibandingkan sekarang," kata Abdul Rashid, anggota dewan eksekutif Persaudaraan Pesawah Malaysia, sebuah kelompok advokasi petani padi.

Bernas dikendalikan oleh taipan Syed Mokhtar Albukhary, yang memiliki hubungan dekat dengan UMNO. Saat ini UMNO merupakan bagian dari pemerintahan persatuan yang dipimpin Pakatan Harapan (PH). Perusahaan ini mendapat perpanjangan konsesi impor beras selama 10 tahun, hingga Januari 2031.

Pada bulan Desember 2022, Perdana Menteri (PM) Anwar Ibrahim telah menegur Tan Sri Syed Mokhtar atas monopoli Bernas. Ia juga meminta pengusaha tersebut membayar RM60 juta kepada petani miskin.

Namun, Menteri Pertanian dan Ketahanan Pangan Mohamad Sabu mengatakan pada bulan September bahwa pemerintah federal memerlukan alasan yang kuat untuk mengakhiri monopoli, dan diskusi antar kementerian diperlukan karena hal ini menyangkut ketahanan pangan.

"Ada manfaat positif dari penghapusan monopoli seperti Bernas," kata mitra Ernst & Young Consulting, Mohd Husin Mohd Nor.

"Meningkatnya persaingan akan mengakibatkan harga yang lebih rendah bagi konsumen dan menghalangi berkembangnya distributor beras yang tidak bermoral dan pengemas yang mencari keuntungan. Meningkatnya persaingan juga akan memacu inovasi dalam mendorong pemain menjadi lebih efisien agar tetap kompetitif di pasar."

Namun, ia mengatakan bahwa penghentian konsesi dapat berdampak negatif terhadap penghidupan petani lokal, karena Bernas juga bertindak sebagai pembeli terakhir dalam industri beras, yang membeli beras dari petani bila diperlukan.

"Hal ini juga dapat menghambat tujuan Malaysia untuk meningkatkan produksi beras lokal sebesar 75% pada tahun 2025 untuk menutupi konsumsi," tambahnya.

Selain terkait monopoli, untuk lebih meningkatkan stok, Malaysia juga perlu mengatasi rendahnya hasil panen.

Produktivitas pertanian negara ini hanya sekitar 45% dari rata-rata negara-negara berpenghasilan tinggi, berdasarkan pengamatan Bank Dunia dalam laporan tahun 2019 tentang Malaysia.

"Reformasi utama untuk membantu transformasi ini termasuk mengurangi biaya produksi, yang relatif tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan ini," kata ekonom pertanian senior Bank Dunia, Anuja Kar, kepada ST baru-baru ini.

Ia menyarankan agar sebagian dari 1,6 miliar ringgit dalam anggaran revisi 2023 Malaysia yang dialokasikan untuk subsidi pupuk dan dukungan harga dapat digunakan kembali untuk riset dan novasi.

"Para ilmuwan di Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pertanian Malaysia telah mengerjakan praktik-praktik yang mengurangi biaya produksi, meningkatkan hasil panen dan keuntungan bagi petani sekaligus mengurangi emisi gas rumah kaca. Hal ini memungkinkan petani memanfaatkan pendanaan karbon global untuk menambah pendapatan mereka," tambahnya.(sumber)


Tag:
Berita Terkait
Segala tindak tanduk yang mengatasnamakan wartawan/jurnalis tanpa menunjukkan tanda pengenal/Kartu Pers riaueditor.com tidak menjadi tanggungjawab Media Online riaueditor.com Hubungi kami: riaueditor@gmail.com
Komentar
Berita Terkini