JAKARTA - Terpilihnya kembali petahana, Joko Widodo sebagai presiden untuk periode 2019-2024 berarti pemerintah akan melanjutkan proyek infrastruktur yang sudah berjalan di Tanah Air.
Hal ini tentunya berita baik bagi perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang konstruksi karena setidaknya sudah ada garansi sumber pemasukan di masa yang akan datang, dan bukannya dievaluasi seperti yang sempat disuarakan oleh calon presiden penantang Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno.
Beberapa perusahaan yang berpotensi diuntungkan dari situasi ini di antaranya adalah PT Adhi Karya Tbk (ADHI), PT Jasamarga Tbk (JSMR), PT PP Tbk (PTPP), PT Wijaya Karya Tbk (WIKA), PT Wijaya Karya Beton Tbk (WTON) PT Waskita Karya Tbk (WSKT), PT Waskita Beton Precast Tbk (WSBP).
Lebih lanjut, dikarenakan proyek pembangunan umumnya memakan biaya yang fantastis, wajar jika mayoritas pembiayaan melalui utang bank atau penerbitan surat obligasi, termasuk medium term notes.
Melansir laporan keuangan perusahaan periode 2014-2018, sepanjang 5 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo, jumlah utang ketujuh perusahaan tersebut terus meningkat.
Bila pada 2015 total utang keenam BUMN Karya mencapai Rp 80,33 triliun maka pada 2018 melesat menjadi Rp 249,42 triliun. Artinya, utang BUMN bertambah Rp 169,09 triliun atau tumbuh 210,5%.
Emiten konstruksi yang banyak mengerjakan proyek pembangunan jalan tol, seperti JSMR dan WSKT yang paling tinggi pertumbuhan utangnya. Sementara itu, emiten konstruksi yang lebih banyak menggarap proyek pembangunan gedung, total utang-nya cenderung tumbuh lebih lambat, seperti PTPP.
Lebih lanjut, di tahun 2014 total utang tertinggi dicatatkan oleh JSMR sebesar Rp 20,84 triliun. Akan tetapi, 5 tahun kemudian, nilai utang tertinggi dibukukan oleh WSKT dengan nilai mencapai Rp 95,5 triliun. Total utang Waskita Karya melesat hampir 10 kali lipat. Wow!!!
Melansir laporan keuangan WSKT tahun lalu, proporsi total utang jangka pendek perusahaan lebih besar dibanding utang jangka panjang. Utang jangka pendek perusahaan tahun lalu ada di Rp 56,8 triliun, sedangkan utang jangka panjang senilai Rp 38,7 triliun. Tren yang sama juga terlihat pada kelima emiten yang lainnya.
Jika ditilik lebih detil, alasan utang jangka pendek emiten konstruksi lebih besar dari jangka panjang karena fasilitas kredit yang diberikan perbankan pada emiten-emiten tersebut umumnya memiliki jatuh tempo antara 12 sampai 24 bulan. Lalu, kisaran kredit yang diberikan juga ada di angka Rp 500 miliar sampai Rp 3 triliun.
Ini merupakan strategi yang diambil oleh perusahaan konstruksi dan perbankan yang untuk menghindari batas maksimum pemberian kredit (BMPK). Jika kemudian perbankan memberikan fasilitas kredit dalam jumlah besar meskipun jatuh tempo sepuluh tahun, maka akan mendapat teguran dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Untuk diketahui, sesuai peraturan OJK Nomor 32/POJK.03/2018 pada pasal 39 ayat 1 menyebutkan penyediaan dana bank kepada BUMN untuk tujuan pembangunan ditetapkan paling tinggi 30% dari modal bank.
TIM RISET CNBC INDONESIA