Nenek Koyai, Saksi Hidup Kekejaman Masa Penjajahan Di Kenegerian Gunung Toar

Penulis: Hayatun Rida, Mahasiswa Pendidikan Sejarah, Universitas Riau
Redaksi Redaksi
Nenek Koyai, Saksi Hidup Kekejaman Masa Penjajahan Di Kenegerian Gunung Toar
Foto: Hayatun Rida
Nenek Koyai (102 Tahun)

NENEK Koyai (102 tahun), salah seorang veteran pejuang yang menjadi saksi hidup kekejaman di masa penjajahan. 

Ditemui di rumahnya, Nenek Koyai mengisahkan kehidupan dan perjuangan masyarakat di masa penjajahan Belanda sekitar tahun 1900-an di Kenegerian Gunung Toar, salah satu kenegerian yang ada di kabupaten Kuantan Singingi, provinsi Riau. 

Beliau lahir sekitar tahun 1918, merasakan getirnya hidup di masa penjajahan Belanda sekaligus masa penjajahan Jepang di Indonesia.

Diceritakan Nenek Koyai, beliau menghabiskan masa kecilnya dengan hidup berpindah-pindah dan bersembunyi di hutan rimba Kenegerian Toar, yang sekarang meliputi wilayah kecamatan Gunung Toar kabupaten Kuantan Singingi. 

Kemudian masa remaja dan dewasa juga dihadapkan dengan situasi sulit. Namun beliau sempat mengecap pendidikan baris-berbaris oleh Pemerintahan Adat Kenegerian Gunung Toar. 

Masa muda beliau digunakan untuk melatih diri dan ikut pasukan baris-berbaris pasukan wanita di Kenegerian Toar. 

Nenek Koyai ini merupakan pemimpin atau Ketua Regu dari pasukan baris-berbaris ini. Pasukannya terdiri dari kaum hawa yang ada di Kenegerian Gunung Toar, diantaranya bernama Gondok dan Oso. Namun semua anggota pasukan tersebut telah menghadap sang Ilahi. 

Di dalam pasukan baris berbaris tersebut mereka belajar bela diri serta dilengkapi dengan senjata tradisional Indonesia melawan penjajah, yakni Bambu Runcing.

Nenek yang telah berusia lebih dari satu abad ini juga merupakan saksi dari kekejaman Belanda serta penjajahan Jepang. Di mana suami pertama dari Nenek Koyai yang bernama Khatib Bulek (khatib di sini merupakan pengurus dan imam mesjid serta merupakan salah satu petinggi dari struktur lembaga adat di Kenegerian Gunung Toar), turut meninggal dunia oleh kekejaman pasukan tentara Belanda.

Tidak hanya suami, namun teman-seperjuangannya juga menjadi korban kekejaman penjajah. Di mana mereka juga ikut andil dalam perlawanan terhadap Belanda secara sembunyi-sembunyi dengan cara menembak dan membunuh tentara Belanda secara bergerilya.

Saat ini kondisi Nenek Koyai ini masih sehat meski usianya sudah mencapai 102 tahun, namun penglihatan dan pendengaran telah jauh berkurang. Secara fisik, beliau masih bisa berjalan di sekeliling rumah dan mengerjakan tugas ringan seperti mencabut rumput.

Pada tahun-tahun belakangan ini sumbangan dan perhatian dari pemerintah daerah sudah tidak ada lagi, Nenek Koyai telah terlupakan dan tergantikan oleh kesibukan lain, yang sepatutnya diapresiasi semua pengorbanannya di masa penjajahan.

Kehidupan Nenek Koyai saat ini bergantung dari perhatian anak cucu dan cicitnya.

Di tengah pandemi Covid-19 yang melanda dunia saat ini, beliau tetap terjaga karena tempat tinggalnya yang lumayan jauh dari keramaian.(*)


Tag:
Berita Terkait
Segala tindak tanduk yang mengatasnamakan wartawan/jurnalis tanpa menunjukkan tanda pengenal/Kartu Pers riaueditor.com tidak menjadi tanggungjawab Media Online riaueditor.com Hubungi kami: riaueditor@gmail.com
Komentar
Berita Terkini